Kamis, 07 Juli 2011

Tsuki no uta

Desclaimer : Bleach by Kubo Tite
Rate : Indonesian.
Type : OOC/AU/M
Genre : Mistery/Detective/Litle bit Romance



“Yoru tsuki, kirei ni tsuki. Boku wa shinigami. Yoroshiku na...khukhukhu....” seringainya diantara syair yang dinyanyikannya. “Hana o tsundeikimasho....” lanjutnya memetik bunga krisan yang sedang mekar penuh.
“Kireika?”
“Kirei janai?” Dia terlihat tampan dibalik cahaya bulan. Namun pucat dengan senyum sinis menghiasi. “Demo, tanoshikute” direnggutnya rumpun itu sekaligus. Membuatnya tercerabut cari tanah.
“Naruhodo” gumam pria lainya.
“Apa yang membuatmu datang kemari?”
“Kerjasama” jawabnya memetik setangkai Krisan putih yang mekar sempurna.
“Kerjasama macam apa? Aku tidak tertarik denganmu?”
“Souka?” diciumnya bunga itu dengan senyum tersungging.

*****

“Apa yang membuatmu datang kemari?” tanya Aizen Sousuke tanpa mengalihkan pandangannya dari file didepan mata.
“Apa bisa aku membuat janji untuk wawancara ekslusif?”
“Tanya saja di bagian resepsionist”
“Tapi kami akan mewawancarai anda sebagai narasumber atas kasus penemuan mayat di sungai Karasu”
“Aku sibuk”
“Sebentar saja”
“Tidak bisa”
“Bagaiman kalau sekarang” ucapnya memabuka lembar pertanyaan. “Apakaha identitas korban di sungai Karasu sudah diketahui?”
Tidak ada jawaban.
“Aizen keibu”
“Apa?” ditatapnya wanita yang duduk dihadapannya. Wajahnya sudah berubah, tidak lagi terkesan ramah seperti sedia kala. Ada sebercak kekesalan bercampur kemaran dalam keangkuhan yang misterius.
“Bisa wawancara?”
“Pergilah ke resepsionis dan buat janji” ucapnya menatap wanita itu tajam.
“Arigatougozaimashita”

Aihana Rekka meninggalkan kantor inspektur itu. Ada kekesalan dalam dadanya. Kenapa dia begitu sulit. Tapi salahanya juga sih, datang tanpa membuat janji.

“Aku Aihana Rekka, wartawan TV X. Apa bisa aku membuat janji dengan Inspektur Aizen untuk wawancara?”
“Silahkan tunggu sebentar”

*****

“Aihana Rekka” panggil sebuah suara yang terdengar manis dari seorang pria yang duduk ditaman.
“Dare? Kuran Rido ka?” gumamnya terkejut.

Pria itu duduk menyilangkan kakinya di sebuah bangku di bawah pohon. Sekaleng bir menemaninya. Kulitnya bersinar karena pantulan cahaya bulan. Mata sayu dengan biji amber yang menarik dan bibir merah menggoda namun terlihat maskulin. Seperti tokoh komik yang dihidupkan.

“Kenapa mukamu begitu? Memangnya aku ini setan?”
“Ya” gumamnya tanpa sadar. “Sejak kapan kau...”
“Aku melihatmu jadi aku duduk disini saja” jawabnya dengan sebuah senyuman hangat.
“Maksudku kapan kau kembali ke Jepang?”

“Kenapa? Kau penasaran ya?” ditariknya lengan Aihana Rekka hingga duduk disampingnya. “Aku baru tiba, lalu mengunjungi teman disekitar sini dan bertemu denganmu” diliriknya wanita itu, membuatnya bergetar. Namun wajah jutek yang diperlihatkannya.

“Kenapa kau kembali?”
“Kau tidak rindu padaku ya?”
“Memangnya sejak kapan aku merindukanmu” dia bangkit dari duduk hendak berlalu tapi tangannya kembali diraih oleh pria itu.

“Aku lapar, temani aku makan” ditariknya tangan itu dengan paksa, dan pemilik tangan pasrah saja. Mereka makan di sebuah restauran Italy disekitar situ. Restauran kecil tapi rasanya lumayan.

“Kudengar kau menjadi reporter di TV X, apa itu benar?”
“Kau dengar dari siapa?” tanyanya cuek dan menyuapkan pasta dihadapannya.
“Apa itu penting?”
“Tidak”
“Aku mendengarnya dari Eiko” jawabnya sambil mengiris daging steak.
“Oh” hanya itu yang keluar dari bibir tipisnya.
“Sebenarnya aku melihatmu di televisi. Apa kau masih melukis?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.
“Tidak”
“Kenapa? Lukisanmu kan bagus. Kenapa tidak membuka galeri saja”
“Kau berlebihan. Lukisanku tidak sebagus itu”
“Menurutku itu bagus”

Aihana Rekka berhenti merespon pertanyaan pria itu. “Hei, Rido. Kenapa kau tidak bersama Eiko?”

“Kenapa ya?” dia berpikir sesaat. Kelihat sekali kalau itu dibuat-buat. “Tidak saja”
“Oh”
“Sudah berakhir” diletakkannya garpu dan pisau, tiba-tiba selera makannya menguap.
“Apa?’
“Hubunganku dan Eiko sudah berakhir”
“Maaf”
“Bukan masalah. Itu sudah lama” lanjutnya menyesap wine tahun 92. “Kau masih mabuk?” tanyanya sambil menyodorkan gelas wine.
“Ah, tidak. Siapa bilang” ditegaknya wine dalam gelas hingga tinggal setengah. Rasanya tenggorokkannya agak perih, meskipun wine itu harum dengan perpaduan rasa manis, asam dan sedikit sepat.


*****

Siang yang terik untuk melakukan sebuah penyelidikan. Dengan menahan panas dari sengatan matahari dan mantel yang dikenakannya Aizen Sousuke memarkir mobilnya di kawasan Karakurahounco sambil menikmati AC mobil yang membantu. Satu jam telah berlalu dan belum ada tanda-tanda yang mencurigakan.

Tiba-tiba saja bibirnya membentuk segaris senyum. Dia memandang seorang wanita yang baru saja melewati mobilnya dan duduk di bangku, di bawah sebuah pohon ginko. Rambut di jepit, kemeja tanpa lengan dan celana denim tiga per empat. Sebuah earphone terpasang di telinganya. Wanita itu sendirian, membaca sebuah buku karya Lisa Jackson berjudul Lost Soul. Ya, dia juga sudah membacanya tapi tidak puas. Terlalu banyak roman picisan.

Tanpa sadar dia terus mengamati. Helaian rambutnya yang tertiup angin. Ekspresinya yang serius tapi beberapa saat kemudian matanya mulai menyipit. Ini bukan kali pertama Aizen menangkap gadis itu sendirian. Biasanya seorang perempuan memiliki teman dekat, tapi tidak ada tanda-tanda seperti itu pada dirinya. Dia sendirian. Dan mungkin kesepian. Terlihat jelas dari tatapan matanya saat memandang sepasang kekasih yang bersendau gurau tak jau dari bangku tempat duduknya.

Wanita itu bangkit dari duduknya, beranjak pergi. Namun kakinya ternatuk tanah yang tidak rata. Tubuhnya hampir saja terjerembab tapi kembali mendapatkan keseimbangan. Responnya cukup bagus. Dia berhenti sejenak dan kembali berjalan meninggalkan taman menuju halte di seberang jalan.

Dia benar-benar sendirian. Bahkan saat hampir jatuh pun tidak ada yang memegang tangannya. Membuat respon tubuhnya meningkat. Bukan sesuatu yang terbentuk dalam hitungan hari. Kesendirian. Itu hal yang sama yang dia alami. Sesuatu yang menjadi biasa hingga tidak mampu merasakannya. Sesuatu yang sebenarnya menyakitkan.

****

“Hai” ucapnya dengan senyum cerah cemerlang.
“Mau apa lagi?”

“Kau ini, kenapa selalu begitu setiap bertemu denganku” gerutunya. “Apa tidak bisa bilang, Rido san senang sekali kau datang berkunjung. Atau Rido, aku rindu padamu” ucapnya bergaya lebai ala aktor opera sabun.

“Rido san” ucapnya dengan senyum yang luar biasa manis tapi berbahaya. “Bisa minggir? Kau menghalangi jalanku”
“Rekka, chotto matte” diikutinya langkah wanita itu meninggalkan apartemen. “Kau mau kemana? Kenapa terburu-buru?”
“Aku harus segera ke kantor polisi”
“Tu... Tunggu.... Kau tidak berniat melaporkanku kan?” tanyanya panik mengikuti langkah Rekka yang dipercepat.
“Aku pikir begitu”

“Kau serius?” Kuran Rido bersweatdrop ria, membayangkan diri terkurung di bui.
“Aku ada wawancara dengan seorang inspektur” dihentikan langkahnya saat pria itu berdiri dihadapannya.
“Aku antar”
“Tidak perlu”

“Kenapa kau selalu menolakku?” ditatapnya mata wanita itu. “Kenapa?” ditariknya lengan Aihana Rekka hingga merapat ketubuhnya. Membuat jantungnya berdebar kencang.
Haruskan? Haruskah terjadi lagi? Hal yang tidak pernah diinginkannya. Atau tidak secara langsung.

“Apa kekuranganku?” bisiknya. Suaranya yang lembut hampir membuatnya tenggelam.
“Lepaskan” ucapnya sedatar mungkin. Menyembuntikan luapan emosi dalam dirinya.

“Tidak mau” dikecupnya pipi Aihana Rekka yang memerah, membuatnya tersenyum senang. Mudah sekali membuatnya seperti itu. Sama seklai tidak berubah. Dia yang selalu judes dan keras kepala tapi dia juga manis dan menarik. Sekali dulu pernah dalam pelukannya meskipun sesaat. Dan sekarang ingin mengulang kembali manis sesaat itu.

“Kuran Rido, lepaskan aku” pintanya lebih lantang.
“Kita ulang lagi kenangan manis itu” bisiknya. Membuat mata wanita itu terbelalak. Tubuhnya mulai gemetar. Tidak mampu menahan luapan emosi dalam dirinya. Perasaan sakit dan bersalah menutupi matanya menciptakan genangan basah.

“Kau kenapa? Hmmm........Rekka chan” gumamnya saat bibir itu menyentuh leher Rekka. Dia ingin berteriak tapi tenggorokannya sakit. Dia ingin lepas tapi tubuhnya kaku.

“Rekka?” Hisagi Shuuhei muncul dengan motor modivikasinya. “Kuran Rido” gumamnya terkejut atas kehadiran pria itu.

Ditatapnya pria lain di atas sepeda motor dengan tatapan tajam. “Huh” dilepaskannya tubuh itu dari rengkuhannya. “Ja ne...” ucapnya dengan senyum menyeringai.
“Rekka, daijobu?” ditepukkanya pundak Aihan Rekka, namun dihindarinya sentuhan itu. Tubuhnya lemas dan gemetar. “Kenapa Kuran Rido ada disini?”

“Shuuhei” gumamnya setengah sadar. “Wawancara” ditatapnya mata pria itu.
“Tapi kau...”

****

“Kirei” seorang pemuda mengamati sebuah lukisan di ruang seni lukis. Seekor kupu kupu dan bunga peoni yang sedang mekar penuh.

“Arigatou” jawab sang pelukis. Seorang gadis dengan rambut panjang yang diikat ekor kuda. Matanya bulat dengan wajah kekanakan. Wajahnya serius saat menyapukan warna-warna di kanvas.

“Ara, Rekka pipimu” dia menyentuh pipi kirinya menandakan ada sesuatu di pipi gadis itu.
“Apa?” diusapnya pipinya, namun tidak ada apa pun.

“Disini” diusapnya cat yang mengotori pipi kanan gadis itu. Tangan yang besar. Tangan yang hangat. Meyentuh pipinya dengan lembut. Mata ambernya menatap matanya dalam. Ada sebuah kekaguman dimata itu. Sosok senior yang menawan.
“Kuran senpai” panggilnya mengembalikan ke dunia nyata.
“Ah, goemen”
“Daijoubu”
“Kau tidak bisa memanggil namaku saja ya? Seperti yang lain”
“Kuran senpai?”
“Rido”
“Rido senpai” sebuah senyum menghiasi bibirnya yang manis.
Lukisan yang indah. Warna-warna cerah pun tertoreh di kavas, secerah suasana hatinya sore itu.

*****
“Hitori de?”
“Hai” jawabnya tanpa menoleh. Berkonsentrasi pada lukisan terbarunya. Sebuah bunga mawar putih.
“Shiroi bara. Aku suka”
“Hontou ni?” tanyanya penasaran. Dibalik sikapnya yang acuh, Aihana Rekka akan bersemangat pada apa yang disukainya. Salah satunya adalah bunga.

“Iya. Di rumah ibuku punya banyak rumpun mawar. Ada mawar merah, mawar sonya, dan banyak yang tidak aku ketahui. Tapi mawar putih yang paling cantik”
“Souka. Kau menyukai warna putih kan”
“Wah, kau masih ingat” ucapnya diantara tawa riang. “Nee, kau suka warna apa?”
“Aku?” dia berpikir sesaat. Hampir semua warna dia sukai, kecuali merah. Entah kenapa dengan warna itu, dia juga tidak tahu. “Mungkin, aku juga menyukai warna putih”

“Makanya kau pakai ini ya” ditariknya pita putih yang mengikat rambutnya, membuat rambut panjang itu tergerai. Rambut yang lembut dan harum. Dibelainya rambut panjang itu lalu diciumnya. “Harum bunga”

“Hei, lepaskan” pintanya menarik kembali pita itu dari tangan Rido dan mengikatnya asal.
“Boku no koibito” ditatapnya mata Rekka dalam. Menyisakan kegundahan.
“Apa?”

“Boku” dikecupnya pipi yang memerah. Membuatnya tersentak. Digenggamnya tanga gadis itu dan menariknya dalam pelukan. Sebuah ciuman dihantarkannya. Sesuatu yang terjadi begitu saja. Sesuatu yang tidak pernah diinginkannya secara langsung.

“Bokutachi no himitsu” bisiknya ditelinga gadis dalam erat dekapannya. “Boku no Rekka”

****

“Naze?” tanyanya singkat. Dipulaskannya warna merah pada kanvas. Ruangan itu minim cahaya. Beruntung, bulan bersinar terang menerobos jendela yang terbuka. Titi-titik air berjatuhan dari matanya. Aneh sekali. Kenap dai menangis.

“Daikirai” disapukannya warna hitam diantara warna merah. Membentuk guratan-guratan malam.

Mungkin hatinya sedang hancur. Tapi kenapa hncur. Hubungan itu, sesuatu yang tidak pernah diinginkannya. Kecupan itu bukan sesuatu yang dipaksa. Meskipun tidak menginginkannya tapi tubuhnya tidak bisa menolak. Sentuhan itu. Mungkin dia memang sudah gila.

Ya. Dia sudah gila. Sejak menanggapi semua perkataan Kuran Rido. Awalnya memang menarik. Tapi, bukan itu sosok yang di impikannya. Bersamnya memang menyenangkan tapi bukan itu caranya.

“Akai tsuki” gumamnya menatap lukisn di depan mata. Lingkaran merah diantara kegelapan hitam. Kuasnya pun jatuh ke lantai. Membuat keramik putih itu ternoda cat merah. Warna serupa darah yang pernah sekali mentes disana. Darahnya. Lukanya. Sakitnya.

****

“Aizen keibu, gomene” ucapnya saat inspektur itu memasuki ruangan yang biasa dipakai untuk rapat. “Bisa kita mulai wawancaranya?”
“Karena aku harus pergi ke kantor pusat, jadi Ichimaru Gin yang akan menggantikanku”
“Yoroshiku” ucapnya dengan senyuman khas.

“Demo...” gumamnya lirih. Dia tetap saja tidak bisa mendengar jawaban langsung dari mulut inspektur itu. “Hai” ucapnya kemudian. Dan wawancara pun berlangsung. Reporter Aihana Rekka bersama kameraman Hisagi Shuuhei mewawancarai Inspektur Ichimaru Gin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar