Rabu, 20 Juli 2011

Her Dilema

Desclaimer: Bleach by Kubo Tite
RAte: OOC/M
Setting: Soul Society (Seiretei)
Genre: Romance/Hurt
Mood: Sad???


“Kenapa kau selalu menghindariku, juu san ban tai fukutaichou”
Gadis itu tersentak seketika, menengadah memandang shilouette pria yang berdiri di sampingnya, membelakangi matahari.
“Ai-zen taichou” ucapnya terkejut. “Bukan apa-apa” jawabnya membuang muka.
“Kenapa?” ditatapnya mata gadis itu dalam. Ada rasa tidak nyaman pada dirinya. “Kenapa kau tidak menjawabku?” diangkatanya dagu gadis itu tapi segera ditepisnya. Dia mundur beberapa langkah dengan tubuh gemetar. Matanya melebar. Wajahnya ketakutan memperlihatkan sebuah teror yang melandanya.
“Juu san ban tai fukutaichou, daijobuka?” pria itu mendekatinya, meraih tangannya namun sebuah bara api terlontar ke arahnya. Api dari pedang gadis itu. Kenapa dia berubah begitu cepat, kenapa dia mengamuk seolah kerasukan, dan kenapa tubuhnya terus bergetar. Ada selaput bening membayang di matanya yang beberapa detik kemudian berubah menjadi aliran di pipinya yang pucat.
“Pergi” erangnya. “Pergi....” teriaknya mengarahkan pisau-piasu api secara brutal. Dan pria itu pun mau tidak mau harus bershunpo untuk menghindarinya dan berhasil mencengkram lengan gadis itu.
“Rekka tenanglah” bisiknya. Namun amarah gadis itu semakin tak terkendali dan menghunuskan pedangnya ke bahu pria itu dan yang membuatnya tersadar, perlahan.
“A...A...Ai..zen...taichou” matanya terbelalak. Tubuhnya masih bergetar, pedang ditangannya pun jatuh menyisakan detingan nyaring. Sesaat kemudian pandangan matanya mulai berkunang-kunang, nafasnya sesak lalu roboh begitu saja. Sebelum kepalanya membentur tanah Aizen telah menangkappnya. Keringat dingin membasahi tubuh gadis itu dan tubuhnya demam tinggi.

****

“Rekka san, daijoubu?” Ukitake Juushiro menatap wakilnya kahawatir.
“Dimana aku?” tanyanya hendak bangun tapi di cegah oleh sang kapten. “Taichou?” ditatapnya pria itu penuh tanya. Ingtannya mulai tersusun kembali, menyadari bahwa ada seseorang yang telah dia lukai tanpa sebab.
“Aizen taichou sedang istirahat di kamarnya”
“Gomenasai” ucap gadis itu memejamkan mata. Menyesali kecerobohannya.
“Ii daiyou” ucapnya dengan senyuman yang lembut menenangkan. “Hari ini istirahatlah” katanya sebelum meninggalkan tempat itu. Dia seharusnya di hukum atas tindakannya itu. Menggunakan zanpakutou dalam seiretei tanpa ijin. Melukai seorang kapten. Membuat kerusakan. Tapi kenapa dia terbaring disini, di rumah sakit?
****
Dua hari telah berlalu sejak insiden itu. Taichounya tidak mengatakan apa pun. Tidak ada laporan apa pun. Semua berjalan normal seperti biasanya. Rapat harian, paper work, membaca buku, merangkai bunga dan latihan. Seperti sore itu. Rekka merangkai beberapa krisan dan tulip pada sebuah jambangan. Ketika dilihatnya Juu ban tai taichou dan Go ban tai fukutaichou sedang berjalansambil bercanda. Dia tahu mereka adalah sabat sejak kecil, tidak heran bila sering bersama. Dan ingatannya pun kembali ke sosok kapten itu.
“Bagaimana dengannya?” ditatapnya bunga-bunga itu pias. Dan sebuah krisan pun melayu lalu mengering ditangannya. Gadis itu pun segera beranjak dari sana. Meninggalkan rangkaian bunga setengah jadi begitu saja dan pergi ke barak divisi lima.
“Sumimasen” ucapnya saat berdiri di depan pintu kantor yang tertutup. Tidak ada jawaban. Gadis itu menunggu beberapa saat namun sepertinya tidak ada siapapun disana. Dia terus berdiri didepan pintu itu tanpa bergerak.
“Rekka san, doushite?” seorang gadis menghampirinya. Hinamori Momo. “Ada apa?”
“Tidak. Bukan apa-apa” ucapnya dengan sebuah senyum. “Hanya berkunjung, kenapa sepi sekali?”
“Iya” ucap gadis itu membuka pintu kantor. “Taichou sedang istirahat dikamarnya”
“begitu”Rekka menundukkan wajahnya, semakin merasa bersalah atas tindakannya.
“Sepertinya taichou kurang hati-hati saat latihan dan mengalami cedera” lanjutnya. “Mau minum teh”
“Ah, tidak. Aku hanya mampir sebentar. Aku kembali ke barak sekarang”
“Kenapa terburu-buru?”
“Ada hal lain yang harus aku kerjakan”
“Kalau ingin bertemu Aizen taichou, aku bisa mengantarmu”
Gadis itu menghentikan langkahnya dan berbalik. “Apa?”
“Kau kemari karena ingin bertemu dengan taichou ka?”
“Bagaimana bisa...”
“Karena Aizen taichou ingin bertemu denganmu” ucapnya.
“Ke.. Kenapa?”
“Dia bilang ingin berterimakasih karena telah membantunya meredakan monster di pantai”
“Oh”

***

“Mou ichido, gomenasai” ucapnya menundukkan kepala dihadapan pria itu. Dia duduk bersandar di salah satu dinding dengan kimono tidurnya.
“Hanya luka kecil, bukan masalah” pria itu menatap Rekka. Lagi-lagi wajah gadis itu terlihat muram. Apa dia sedang sakit? Kenapa setiap bertemu dengannya selalu ada sesuatu yang salah. Seperti rasa sakit yang mengganggu. Dia tidak mengenal gadis ini sebelumnya. Ukitake hanya mengatakan bahwa dia mantan onmitsukidou.
“Juu san bantai taichou, kenapa kau tiba-tiba hilang kendali?”
Gadis itu tidak menjawab. Tubuhnya kembali bergetar. Tangannya mengepal seperti menahan sesuatu yang berat dalam dirinya. Beberapa saat kemudian getaran itu mereda dan hilang. “Maafkan aku” ucapnya meninggalkan pria itu.

****

Pagi itu Rekka duduk, di tempat itu, di tempat dia senang menghabiskan waktu sebelum jam kerja. Di atap soukuheki timur. Puluhan burung terbang mengitarinya tapi tak dihiraukan. Dia duduk, memandang sereitei tanpa ekspresi. Akhirnya dia ada di tempat itu. Menjadi dewa kematian seperti keinginannya saat berusia dua belas tahun. Usia yang dibencinya. Yang membuatnya tidak mampu memafkan diri sendiri.
“Seorang diri menatap seiretei yang agung” seorang berhaori kapten kembali muncul dihadapannya namun tidak hendak melarikan diri dari pria itu.
“Ya” jawabnya singkat.
“Aku masih belum memaafkanmu” ucapnya kemudian duduk di samping gadis itu.
“Gomenasai”
“Apa kau baik-baik saja?” tanyanya sambil mengamati gadis itu lekat. Membuatnya jengah. Lalu melempar tatapnnya ke langit luas.
“Ya”
“Aku minta maaf karena membuatmu tertekan beberapa kali” pria itu menundukkan kepala padanya membuatnya bingung harus berbuat apa.
“Bukan salahmu” ucapnya setelah beberapa saat dalam keheningan. “Hanya kenangan yang sulit dilupakan” lanjutnya.
“Kenangan? Kenangan buruk?Pasti menyakitkan?”
“Ya” ucapnya. “Begitu buruk sampai aku mebenci diriku sendiri” ucapnya dengan seulas senyum menyakitkan. “Bodohnya aku” disisirnya rambut sebahunya dengan jemarinya. Begitu penuh dengan emosi yang sulit dimengerti. Antara keindahan, kesedihan, kekaguman dan kebencian yang bercampur dengan penyesalan.
“Apa itu kalau aku boleh tahu” tanya pria itu yang langsung mendapat tatapan yang mengerikan. Apakah ini yang membuatnya sulit utuk didekati bahkan olahe Ukitake sendiri. “Tidak perlu bila memang begitu menyakitkan”
“Sepuluh tahun yang lalu” mulainya. “Aku yang masih begitu muda dan polos. Aku yang tidak peduli pada apa pun bahkan diriku sendiri” dia berhenti berkata. Tubuhnya mulai menggigil. “Aku pergi ke perbatasan desa, seperti biasanya. Aku senang disana. Menatap sungai yang indah, padang bunga yang cantik. Tapi sayang sekali bunga-bunga itu akan segera layu bila kusentuh bahkan mengering dan terbakar” senyuman itu kembali muncul. Senyuman yang memilukan dari seorang gadis manis.
“Entah kenapa holow mulai bermunculan ditempat itu dan aku tidak tahu harus bagaimana” ucapnya datar tanpa menoleh sedikit pun. “Saat itu yang aku pikirkan hanya lari dan lari. Ya, aku hanya bisa berlari. Benar-benar tidak berguna” desahnya kemudian. “Dalam pelarianku aku bertemu dengna seseorang. Aku tidak tahu dia siapa tapi dia bisa memusnahkan holow itu sekali tebas. Dan aku yakin dia bukan dewa kematian”
“Dan dia bukan lagi manusia atau konpaku. Dia telah dirasuki oleh hollow” tangannya kembali mengepal dan tubuhnya bergetar hebat. Matanya melebar penuh kebencian. “Dia orang itu atau siapa pun dia melilit tubuhku dengan sulur yang muncul dari tangannya. Dan semua itu terjadi” dia memegangi kepalanya. Berharap kepala itu copot dan semua kenangan buruk itu menguap. Butir-butir bening berjatuhan ke pipinya. “Aku tidak bisa melawannya”
“Juu san ban tai fukutaichou” panggilnya, ragu untuk menyentuh gadis itu. Tapi rasa sakit dan menderita membayangi wajahnya yang kian pucat.
“Aku membenci diriku yang lemah. Aku benci. Aku benci” ucapnya berulang kali. Dan Aizen pun membawa gadis itu dalam dekapannya. Namun gadis itu meronta dan sempat memukulnya beberapa kali.
“Rekka... Tenanglah, Rekka” dibenamkannya kepala gadis itu dalam dekapannya. Bisa dia dengar isakan itu berangsur membaik. Dia tak lagi meronta hanya menangis. Menangis dalam dekapan pria itu. Entah kenapa sakitnya, melihat dia kesakitan tersiksa oleh ingatan masa lalu membuatnya tidak ingin melepaskan gadis itu. “Rekka, daijobu. Watashi wa koko ni iru” bisiknya.

****

“Juushiro sama, sebaiknya istirahat saja. Aku bisa mengerjakan semua ini sendirian”ucap Rekka saat membujuk taichounya yang sakit-sakitan untuk istirahat. Dan saat itu mereka bertemu dengan Aizen dan Hinamori.
“Aizen taichou” sapa Ukitake.
“Ukitake taichou, tampaknya kau sedang tidak sehat”
“Hah, memang terlihat begitu ya. Makanya Rekka memaksaku untuk istirahat”
Saat itu Rekka hanya mengaguk dan tidak megatakan apa pun sampai mereka berpisah.
Alasannya masuk akademi dewa kematian adalah untuk memusnahkan Hollow sebanyak mungkin. Mencegah terjadinya tragedi yang pernah menimpanya agar tidak terjadi pada orang lain, terutama perempuan. Dan dia sangat menikmati setiap eksekusi yang dilakukannya.
****
Entah kenapa bayangan gadis itu terus memenuhi kepala Aizen. Gadis misterius yang menarik. Sama menariknya dengan bunga yang tumbuh di sisi tebing terjal. Hanya bisa dikagumi tanpa bisa menggapainya. Dihirupnya harum teh butan Hinamori. Harum lemon dan madu. Harum yang mirip seperti gadis itu. Teh itu seperti mendorongnya untuk bertemu kembali dengan wakil kapten divisi tiga belas yang baru dua minggu menjabat. Gadis yang biasa saja. Tidak istimewa tapi mampu mencuri perhatiannya atau bahkan mungkin hatinya. Dari semua kapten yang ada sekarang hanya Kuchiki Byakuya yang pernah menikah. Meskipun satu tahun setelah pernikahannya istrinya meninggal. Benar-benar menyedihkan.
“Ginka?”
“Nee, Aizen taichou sepertinya sedang serius memikirkan sesuatu ya?”
“Apa aku terlihat seperti itu?”
“Sedikit” ucapnya dengan senyuman khas.
“Sou ka?” sebuah senyum tipis terlukis dibibirnya.

****

Ukitake Juushiro baru saja kembali dari tempat sahabatnya, Kyoraku Shunsui. Dan menemukan sang wakil tertidur di koridor dengan sebuah buku tergeletak di sampingnya. Helaian rambutnya menutupi sebagian wajahnya. Untung tidak mirip sadako, karena rambutnya hanya sebatas bahu. Dia mengenakan yukata sederhana berwarna biru. Entah kenapa dia bisa tertidur di tempat seperti itu dan... Ukitake memalingkan wajahnya yang memerah. Kerah yukata gadis itu melorot, sepertinya dipakai asal-asalan karena selain ikatannya serampangan juga membuat bahunya terlihat. Ukitake pun melepaskan haori kaptennya dan memakaikan pada gadis itu tepat saat dia membuka mata.
“Taichou” gadis itu langsung siaga.
”Kenapa kau tidur disini?”
“Ah, eh, maaf. Sepertinya aku ketiduran saat sedang membaca” ucapnya sambil membetulkan kerahnya kembali.
“Lain kali membacalah di dalam saja” ucap Ukitake mengambil haorinya yang terlantar di lantai kayu. “Udara di luar dingin, jangan sampai kau sakit” tambahnya dengan sebuah senyuman yang membuat gadis itu merona karena malu.
“Hai, Juushiro sama”
“Ah, aku ada oleh-oleh dari Shunsui” diangkatnya sebuah kantong. “Ayo kita makan sama-sama” ucapnya berjalan dengan diikuti Rekka di belakangnya.
Gadis itu masih trauma bila di sentuh atau di dekati laki-laki. Tapi entah mengapa tidak semuanya diperlakukan seperti itu. Dia bersikap biasa saja pada para wakil kapten maupun shinigami yang lain meskipun tetap waspada dengan wajah juteknya. Tapi pada Ukitake, ada perbedaan yang sedikit mencolok.
“Taichou masih menulis novel?” tanya Rekka yang menikmati dango buatan Ise Nanao di ujung ruangan.
“Ah, ya. Masih belum selesai, Sogyo no Kotowari ini adalah cerita yang panjang tentang kehidupan dalam seiretei”
“Oh” disuapnya sebuah dango. “Aku juga” gumamnya.
“Apa?” pria itu mengangkat wajahnya memandang sang wakil yang mengamati dango dengan toping kacang dan meletakkannya kembali. Gadis itu tidak suka kacang meskipun itu lezat.
“Kau juga apa, Reka san?”
“Ah, eh. Bukan apa-apa. Hanya menulis saja” jawabnya hampir sekenanya, benar-benar tidak sopan.
“Kapan-kapan kita baca bersama” tawarnya dengan senyuman yang lembut. Pipi Rekka kembali merona dan buru-buru dipalingkannya ke luar jendela.
“Taichou, aku permisi dulu” ucapnya bangkit dan membungkukkan badan. “Terimakasih untuk omiyagenya”
“Ya” jawab kapten itu singkat, memandangi wakilnya yang menghilang dibalik pintu.
Sepuluh tahun yang lalu gadis itu adalah pelayan di rumahnya. Tapi reiatsu yang dimilikinya benar-benar unik. Terkadang terasa, terkadang lenyap begitu saja . Seseorang menemukannya di perbatasan Rukongai. Tubuhnya terbakar. Orang itu pikir dia mati karena di serang hollow yang muncul. Tapi salah. Hollow itu hangus menjadi debu. Dan api yang membakar gadis itu berasal dari tubuhnya sendiri
“Apa itu” Ukitake memungut sebuah buku yang tergeletak tak jauh dari tempat Rekka duduk. “Icha Icha Paradishe” judul buku itu. “Buku yang asing” gumamnya dan membuka halamannya satu per satu. Seketika pipi pria itu merona merah. Entah apa yang tertulis disana.

***

“Ohayou”sapa Hisagi Shuuhei pada Rekka yang datang di ruang rapat.
“Ohayou” balasnya langsung duduk di salah satu kursi. Entah kenapa wajah gadis itu terlihat resah.
“Ada yang salah?”
“Ng... Tidak” jawabnya singkat. “Hanya kehilangan sesuatu. Atau aku lupa meletakkan benda itu”
“Apa?”
“Buku”
“Buku? Buku apa?”
“Tidak penting” jawabnya memalingkan wajah, menahan panas di pipinya. Khawatir kalau buku itu ditemukan oleh orang lain tepat saat Sasakibe dan fuktaichoulainya muncul.

****

Rekka beberapa kali memandangi taichounya yang sedang mengerjakan paper-work. Dia sendiri mengerjakan tugasnya dengan gundah.
“Ada apa Rekka fukutaichou, sepertinya kau sedaang tidak enak badan?” tanyanya menyadari gelagat aneh gadis itu.
“Ie, arimasen” ucapnya melanjukan pekerjaannya dan sekilas melirik sebuah buku saku hijau dibawah tumpukan kertas di meja Ukitake Juushiro. Itu buku yang dicarinya sejak semalam. Sebuah buku pemberian seorang shinobi kenalannya saat dia bertugas di Real World mengeksekusi beberapa jiwa jahat.
“Apa kau menghawatirkan ini?” diambilnya buku itu lalu diserahkannya pada Rekka yang menatap taichounya negeri. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Ada perasaan ragu-ragu untuk meraih buku itu.
“Tenang saja” ucapnya. “Tidak aku buka” tambahnya dengan sebuah senyuman bohong yang meyakinkan. Gadis itu pun meraih buku itu kembali.
“Sepertinya buku yang berharga ya”
“Ng... Begitulah. Pemberian seorang teman”
“Seorang teman? Pasti teman yang sangat dekat”
“Tidak juga. Dia seorang shinobi dari desa Konohagakure yang aku temui saat bertugas di real world. Hatake Kakashi”
“Seorang shinobi, menarik sekali”
“Ya”
Dan pembicaraan itu berakhir dengan kaku hingga mereka kembali menekuni pekerjaan masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar