Rabu, 20 Juli 2011

Her Dilema

Desclaimer: Bleach by Kubo Tite
RAte: OOC/M
Setting: Soul Society (Seiretei)
Genre: Romance/Hurt
Mood: Sad???


“Kenapa kau selalu menghindariku, juu san ban tai fukutaichou”
Gadis itu tersentak seketika, menengadah memandang shilouette pria yang berdiri di sampingnya, membelakangi matahari.
“Ai-zen taichou” ucapnya terkejut. “Bukan apa-apa” jawabnya membuang muka.
“Kenapa?” ditatapnya mata gadis itu dalam. Ada rasa tidak nyaman pada dirinya. “Kenapa kau tidak menjawabku?” diangkatanya dagu gadis itu tapi segera ditepisnya. Dia mundur beberapa langkah dengan tubuh gemetar. Matanya melebar. Wajahnya ketakutan memperlihatkan sebuah teror yang melandanya.
“Juu san ban tai fukutaichou, daijobuka?” pria itu mendekatinya, meraih tangannya namun sebuah bara api terlontar ke arahnya. Api dari pedang gadis itu. Kenapa dia berubah begitu cepat, kenapa dia mengamuk seolah kerasukan, dan kenapa tubuhnya terus bergetar. Ada selaput bening membayang di matanya yang beberapa detik kemudian berubah menjadi aliran di pipinya yang pucat.
“Pergi” erangnya. “Pergi....” teriaknya mengarahkan pisau-piasu api secara brutal. Dan pria itu pun mau tidak mau harus bershunpo untuk menghindarinya dan berhasil mencengkram lengan gadis itu.
“Rekka tenanglah” bisiknya. Namun amarah gadis itu semakin tak terkendali dan menghunuskan pedangnya ke bahu pria itu dan yang membuatnya tersadar, perlahan.
“A...A...Ai..zen...taichou” matanya terbelalak. Tubuhnya masih bergetar, pedang ditangannya pun jatuh menyisakan detingan nyaring. Sesaat kemudian pandangan matanya mulai berkunang-kunang, nafasnya sesak lalu roboh begitu saja. Sebelum kepalanya membentur tanah Aizen telah menangkappnya. Keringat dingin membasahi tubuh gadis itu dan tubuhnya demam tinggi.

****

“Rekka san, daijoubu?” Ukitake Juushiro menatap wakilnya kahawatir.
“Dimana aku?” tanyanya hendak bangun tapi di cegah oleh sang kapten. “Taichou?” ditatapnya pria itu penuh tanya. Ingtannya mulai tersusun kembali, menyadari bahwa ada seseorang yang telah dia lukai tanpa sebab.
“Aizen taichou sedang istirahat di kamarnya”
“Gomenasai” ucap gadis itu memejamkan mata. Menyesali kecerobohannya.
“Ii daiyou” ucapnya dengan senyuman yang lembut menenangkan. “Hari ini istirahatlah” katanya sebelum meninggalkan tempat itu. Dia seharusnya di hukum atas tindakannya itu. Menggunakan zanpakutou dalam seiretei tanpa ijin. Melukai seorang kapten. Membuat kerusakan. Tapi kenapa dia terbaring disini, di rumah sakit?
****
Dua hari telah berlalu sejak insiden itu. Taichounya tidak mengatakan apa pun. Tidak ada laporan apa pun. Semua berjalan normal seperti biasanya. Rapat harian, paper work, membaca buku, merangkai bunga dan latihan. Seperti sore itu. Rekka merangkai beberapa krisan dan tulip pada sebuah jambangan. Ketika dilihatnya Juu ban tai taichou dan Go ban tai fukutaichou sedang berjalansambil bercanda. Dia tahu mereka adalah sabat sejak kecil, tidak heran bila sering bersama. Dan ingatannya pun kembali ke sosok kapten itu.
“Bagaimana dengannya?” ditatapnya bunga-bunga itu pias. Dan sebuah krisan pun melayu lalu mengering ditangannya. Gadis itu pun segera beranjak dari sana. Meninggalkan rangkaian bunga setengah jadi begitu saja dan pergi ke barak divisi lima.
“Sumimasen” ucapnya saat berdiri di depan pintu kantor yang tertutup. Tidak ada jawaban. Gadis itu menunggu beberapa saat namun sepertinya tidak ada siapapun disana. Dia terus berdiri didepan pintu itu tanpa bergerak.
“Rekka san, doushite?” seorang gadis menghampirinya. Hinamori Momo. “Ada apa?”
“Tidak. Bukan apa-apa” ucapnya dengan sebuah senyum. “Hanya berkunjung, kenapa sepi sekali?”
“Iya” ucap gadis itu membuka pintu kantor. “Taichou sedang istirahat dikamarnya”
“begitu”Rekka menundukkan wajahnya, semakin merasa bersalah atas tindakannya.
“Sepertinya taichou kurang hati-hati saat latihan dan mengalami cedera” lanjutnya. “Mau minum teh”
“Ah, tidak. Aku hanya mampir sebentar. Aku kembali ke barak sekarang”
“Kenapa terburu-buru?”
“Ada hal lain yang harus aku kerjakan”
“Kalau ingin bertemu Aizen taichou, aku bisa mengantarmu”
Gadis itu menghentikan langkahnya dan berbalik. “Apa?”
“Kau kemari karena ingin bertemu dengan taichou ka?”
“Bagaimana bisa...”
“Karena Aizen taichou ingin bertemu denganmu” ucapnya.
“Ke.. Kenapa?”
“Dia bilang ingin berterimakasih karena telah membantunya meredakan monster di pantai”
“Oh”

***

“Mou ichido, gomenasai” ucapnya menundukkan kepala dihadapan pria itu. Dia duduk bersandar di salah satu dinding dengan kimono tidurnya.
“Hanya luka kecil, bukan masalah” pria itu menatap Rekka. Lagi-lagi wajah gadis itu terlihat muram. Apa dia sedang sakit? Kenapa setiap bertemu dengannya selalu ada sesuatu yang salah. Seperti rasa sakit yang mengganggu. Dia tidak mengenal gadis ini sebelumnya. Ukitake hanya mengatakan bahwa dia mantan onmitsukidou.
“Juu san bantai taichou, kenapa kau tiba-tiba hilang kendali?”
Gadis itu tidak menjawab. Tubuhnya kembali bergetar. Tangannya mengepal seperti menahan sesuatu yang berat dalam dirinya. Beberapa saat kemudian getaran itu mereda dan hilang. “Maafkan aku” ucapnya meninggalkan pria itu.

****

Pagi itu Rekka duduk, di tempat itu, di tempat dia senang menghabiskan waktu sebelum jam kerja. Di atap soukuheki timur. Puluhan burung terbang mengitarinya tapi tak dihiraukan. Dia duduk, memandang sereitei tanpa ekspresi. Akhirnya dia ada di tempat itu. Menjadi dewa kematian seperti keinginannya saat berusia dua belas tahun. Usia yang dibencinya. Yang membuatnya tidak mampu memafkan diri sendiri.
“Seorang diri menatap seiretei yang agung” seorang berhaori kapten kembali muncul dihadapannya namun tidak hendak melarikan diri dari pria itu.
“Ya” jawabnya singkat.
“Aku masih belum memaafkanmu” ucapnya kemudian duduk di samping gadis itu.
“Gomenasai”
“Apa kau baik-baik saja?” tanyanya sambil mengamati gadis itu lekat. Membuatnya jengah. Lalu melempar tatapnnya ke langit luas.
“Ya”
“Aku minta maaf karena membuatmu tertekan beberapa kali” pria itu menundukkan kepala padanya membuatnya bingung harus berbuat apa.
“Bukan salahmu” ucapnya setelah beberapa saat dalam keheningan. “Hanya kenangan yang sulit dilupakan” lanjutnya.
“Kenangan? Kenangan buruk?Pasti menyakitkan?”
“Ya” ucapnya. “Begitu buruk sampai aku mebenci diriku sendiri” ucapnya dengan seulas senyum menyakitkan. “Bodohnya aku” disisirnya rambut sebahunya dengan jemarinya. Begitu penuh dengan emosi yang sulit dimengerti. Antara keindahan, kesedihan, kekaguman dan kebencian yang bercampur dengan penyesalan.
“Apa itu kalau aku boleh tahu” tanya pria itu yang langsung mendapat tatapan yang mengerikan. Apakah ini yang membuatnya sulit utuk didekati bahkan olahe Ukitake sendiri. “Tidak perlu bila memang begitu menyakitkan”
“Sepuluh tahun yang lalu” mulainya. “Aku yang masih begitu muda dan polos. Aku yang tidak peduli pada apa pun bahkan diriku sendiri” dia berhenti berkata. Tubuhnya mulai menggigil. “Aku pergi ke perbatasan desa, seperti biasanya. Aku senang disana. Menatap sungai yang indah, padang bunga yang cantik. Tapi sayang sekali bunga-bunga itu akan segera layu bila kusentuh bahkan mengering dan terbakar” senyuman itu kembali muncul. Senyuman yang memilukan dari seorang gadis manis.
“Entah kenapa holow mulai bermunculan ditempat itu dan aku tidak tahu harus bagaimana” ucapnya datar tanpa menoleh sedikit pun. “Saat itu yang aku pikirkan hanya lari dan lari. Ya, aku hanya bisa berlari. Benar-benar tidak berguna” desahnya kemudian. “Dalam pelarianku aku bertemu dengna seseorang. Aku tidak tahu dia siapa tapi dia bisa memusnahkan holow itu sekali tebas. Dan aku yakin dia bukan dewa kematian”
“Dan dia bukan lagi manusia atau konpaku. Dia telah dirasuki oleh hollow” tangannya kembali mengepal dan tubuhnya bergetar hebat. Matanya melebar penuh kebencian. “Dia orang itu atau siapa pun dia melilit tubuhku dengan sulur yang muncul dari tangannya. Dan semua itu terjadi” dia memegangi kepalanya. Berharap kepala itu copot dan semua kenangan buruk itu menguap. Butir-butir bening berjatuhan ke pipinya. “Aku tidak bisa melawannya”
“Juu san ban tai fukutaichou” panggilnya, ragu untuk menyentuh gadis itu. Tapi rasa sakit dan menderita membayangi wajahnya yang kian pucat.
“Aku membenci diriku yang lemah. Aku benci. Aku benci” ucapnya berulang kali. Dan Aizen pun membawa gadis itu dalam dekapannya. Namun gadis itu meronta dan sempat memukulnya beberapa kali.
“Rekka... Tenanglah, Rekka” dibenamkannya kepala gadis itu dalam dekapannya. Bisa dia dengar isakan itu berangsur membaik. Dia tak lagi meronta hanya menangis. Menangis dalam dekapan pria itu. Entah kenapa sakitnya, melihat dia kesakitan tersiksa oleh ingatan masa lalu membuatnya tidak ingin melepaskan gadis itu. “Rekka, daijobu. Watashi wa koko ni iru” bisiknya.

****

“Juushiro sama, sebaiknya istirahat saja. Aku bisa mengerjakan semua ini sendirian”ucap Rekka saat membujuk taichounya yang sakit-sakitan untuk istirahat. Dan saat itu mereka bertemu dengan Aizen dan Hinamori.
“Aizen taichou” sapa Ukitake.
“Ukitake taichou, tampaknya kau sedang tidak sehat”
“Hah, memang terlihat begitu ya. Makanya Rekka memaksaku untuk istirahat”
Saat itu Rekka hanya mengaguk dan tidak megatakan apa pun sampai mereka berpisah.
Alasannya masuk akademi dewa kematian adalah untuk memusnahkan Hollow sebanyak mungkin. Mencegah terjadinya tragedi yang pernah menimpanya agar tidak terjadi pada orang lain, terutama perempuan. Dan dia sangat menikmati setiap eksekusi yang dilakukannya.
****
Entah kenapa bayangan gadis itu terus memenuhi kepala Aizen. Gadis misterius yang menarik. Sama menariknya dengan bunga yang tumbuh di sisi tebing terjal. Hanya bisa dikagumi tanpa bisa menggapainya. Dihirupnya harum teh butan Hinamori. Harum lemon dan madu. Harum yang mirip seperti gadis itu. Teh itu seperti mendorongnya untuk bertemu kembali dengan wakil kapten divisi tiga belas yang baru dua minggu menjabat. Gadis yang biasa saja. Tidak istimewa tapi mampu mencuri perhatiannya atau bahkan mungkin hatinya. Dari semua kapten yang ada sekarang hanya Kuchiki Byakuya yang pernah menikah. Meskipun satu tahun setelah pernikahannya istrinya meninggal. Benar-benar menyedihkan.
“Ginka?”
“Nee, Aizen taichou sepertinya sedang serius memikirkan sesuatu ya?”
“Apa aku terlihat seperti itu?”
“Sedikit” ucapnya dengan senyuman khas.
“Sou ka?” sebuah senyum tipis terlukis dibibirnya.

****

Ukitake Juushiro baru saja kembali dari tempat sahabatnya, Kyoraku Shunsui. Dan menemukan sang wakil tertidur di koridor dengan sebuah buku tergeletak di sampingnya. Helaian rambutnya menutupi sebagian wajahnya. Untung tidak mirip sadako, karena rambutnya hanya sebatas bahu. Dia mengenakan yukata sederhana berwarna biru. Entah kenapa dia bisa tertidur di tempat seperti itu dan... Ukitake memalingkan wajahnya yang memerah. Kerah yukata gadis itu melorot, sepertinya dipakai asal-asalan karena selain ikatannya serampangan juga membuat bahunya terlihat. Ukitake pun melepaskan haori kaptennya dan memakaikan pada gadis itu tepat saat dia membuka mata.
“Taichou” gadis itu langsung siaga.
”Kenapa kau tidur disini?”
“Ah, eh, maaf. Sepertinya aku ketiduran saat sedang membaca” ucapnya sambil membetulkan kerahnya kembali.
“Lain kali membacalah di dalam saja” ucap Ukitake mengambil haorinya yang terlantar di lantai kayu. “Udara di luar dingin, jangan sampai kau sakit” tambahnya dengan sebuah senyuman yang membuat gadis itu merona karena malu.
“Hai, Juushiro sama”
“Ah, aku ada oleh-oleh dari Shunsui” diangkatnya sebuah kantong. “Ayo kita makan sama-sama” ucapnya berjalan dengan diikuti Rekka di belakangnya.
Gadis itu masih trauma bila di sentuh atau di dekati laki-laki. Tapi entah mengapa tidak semuanya diperlakukan seperti itu. Dia bersikap biasa saja pada para wakil kapten maupun shinigami yang lain meskipun tetap waspada dengan wajah juteknya. Tapi pada Ukitake, ada perbedaan yang sedikit mencolok.
“Taichou masih menulis novel?” tanya Rekka yang menikmati dango buatan Ise Nanao di ujung ruangan.
“Ah, ya. Masih belum selesai, Sogyo no Kotowari ini adalah cerita yang panjang tentang kehidupan dalam seiretei”
“Oh” disuapnya sebuah dango. “Aku juga” gumamnya.
“Apa?” pria itu mengangkat wajahnya memandang sang wakil yang mengamati dango dengan toping kacang dan meletakkannya kembali. Gadis itu tidak suka kacang meskipun itu lezat.
“Kau juga apa, Reka san?”
“Ah, eh. Bukan apa-apa. Hanya menulis saja” jawabnya hampir sekenanya, benar-benar tidak sopan.
“Kapan-kapan kita baca bersama” tawarnya dengan senyuman yang lembut. Pipi Rekka kembali merona dan buru-buru dipalingkannya ke luar jendela.
“Taichou, aku permisi dulu” ucapnya bangkit dan membungkukkan badan. “Terimakasih untuk omiyagenya”
“Ya” jawab kapten itu singkat, memandangi wakilnya yang menghilang dibalik pintu.
Sepuluh tahun yang lalu gadis itu adalah pelayan di rumahnya. Tapi reiatsu yang dimilikinya benar-benar unik. Terkadang terasa, terkadang lenyap begitu saja . Seseorang menemukannya di perbatasan Rukongai. Tubuhnya terbakar. Orang itu pikir dia mati karena di serang hollow yang muncul. Tapi salah. Hollow itu hangus menjadi debu. Dan api yang membakar gadis itu berasal dari tubuhnya sendiri
“Apa itu” Ukitake memungut sebuah buku yang tergeletak tak jauh dari tempat Rekka duduk. “Icha Icha Paradishe” judul buku itu. “Buku yang asing” gumamnya dan membuka halamannya satu per satu. Seketika pipi pria itu merona merah. Entah apa yang tertulis disana.

***

“Ohayou”sapa Hisagi Shuuhei pada Rekka yang datang di ruang rapat.
“Ohayou” balasnya langsung duduk di salah satu kursi. Entah kenapa wajah gadis itu terlihat resah.
“Ada yang salah?”
“Ng... Tidak” jawabnya singkat. “Hanya kehilangan sesuatu. Atau aku lupa meletakkan benda itu”
“Apa?”
“Buku”
“Buku? Buku apa?”
“Tidak penting” jawabnya memalingkan wajah, menahan panas di pipinya. Khawatir kalau buku itu ditemukan oleh orang lain tepat saat Sasakibe dan fuktaichoulainya muncul.

****

Rekka beberapa kali memandangi taichounya yang sedang mengerjakan paper-work. Dia sendiri mengerjakan tugasnya dengan gundah.
“Ada apa Rekka fukutaichou, sepertinya kau sedaang tidak enak badan?” tanyanya menyadari gelagat aneh gadis itu.
“Ie, arimasen” ucapnya melanjukan pekerjaannya dan sekilas melirik sebuah buku saku hijau dibawah tumpukan kertas di meja Ukitake Juushiro. Itu buku yang dicarinya sejak semalam. Sebuah buku pemberian seorang shinobi kenalannya saat dia bertugas di Real World mengeksekusi beberapa jiwa jahat.
“Apa kau menghawatirkan ini?” diambilnya buku itu lalu diserahkannya pada Rekka yang menatap taichounya negeri. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Ada perasaan ragu-ragu untuk meraih buku itu.
“Tenang saja” ucapnya. “Tidak aku buka” tambahnya dengan sebuah senyuman bohong yang meyakinkan. Gadis itu pun meraih buku itu kembali.
“Sepertinya buku yang berharga ya”
“Ng... Begitulah. Pemberian seorang teman”
“Seorang teman? Pasti teman yang sangat dekat”
“Tidak juga. Dia seorang shinobi dari desa Konohagakure yang aku temui saat bertugas di real world. Hatake Kakashi”
“Seorang shinobi, menarik sekali”
“Ya”
Dan pembicaraan itu berakhir dengan kaku hingga mereka kembali menekuni pekerjaan masing-masing.

Summer Vacation

Desclaimer : Bleach by Kubo Tite
Rate : OOC
Setting : Soul Society (Beach)
Genre : Humor/Romance
Mood : Snewen????

Langit biru,
Pasir putih,
Burung camar,
Pantai yang menyenangkan untuk liburan musim panas.



“Haah, pantai”
“Rekka chan, kau belum pernah ke pantai ya?” tanya Matsumoto Rangiku yang telah bersiap dengan bikininya. Dan gadis itu menggelengkan keapalnya. “Kalau begitu, ayo, kita berenang”
“Aku tidak bisa” jawab gadis dengan t-shirt dan celana sebatas lutut serta sandal jepit. Rambutnya dijepit dan tertutup topi jerami.
“Sana, ganti baju. Aku akan mengjarimu berenang” tawarnya. Namun gadis itu memandang laut dengan tatapan aneh lalu mengelengkan kepala.

PRIIIIT.........

Sebuah peluit telah dibunyikan, membuat semuanya berkumpul. Kuchiki Byakuya mengenakan shirt yang tidak dikancingkan dan celana pendek. Hisagi Shuuhei, Abarai Renji dan Kurosaki Ichigo bare chest, dan....
“Ta...i...chou” mulut Rekka ternganga melihat taichounya. Ukitake Juushiro bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek, memperlihatkan dada bidang dan perut sixpack-nya.
“Nah, kita adakan kompetisi membuat patung pasir” ucap Ukitake, lalu membacakan daftar anggota. “Tim pertama, Kuchiki Byakuya dan Kuchiki Rukia. Tim kedua, Abarai, Kurosaki dan Hisagi. Tim ke tiga, Ise, Matsumoto dan Isane. Tim ke empat, Hinamori, Kurrotsuchi dan Rekka”
“Ah, a...aku tidak ikut......” ucapnya berlari meninggalkan rombongan menuju sisi lain pantai.
“Dia kenapa?” tanya sang taichou yang kebingungan melihat respon fukutaichou-nya.
“Hmmm.... Lihat saja, akan aku tunjukkan seni patung keluraga Kuchiki” ucap Byakuya datar.

^*^

Tuing... Tuing.... Tuing...

Rekka memukul kepalanya setiap teringat akan kondisi taichounya tadi. “Aaarrrrrgh.....” dilepaskannya topi jerami-nya dan mengacak-acak rambutnya sendiri. “Taichou aku tidak mau lihat” teriaknya.
“Tidak mau lihat apa?” tanya sebuah suara. Seketika gadis itu menoleh dan mendapati seorang pria berkacamata duduk disampingnya. Membuatnya ber-sweatdrop sampai membatu.
“Ah, eh,ah, Aizen taichou” ucapnya kemudian. “doumo”
“Kau tidak mengikuti permainan Ukitake?” tanyanya memungut topi jerami Rekka yang terlantar di pasir.
“Ah, ng... Tidak” jawabnya mengambil topi dari tangan pria itu. “Aku tidak bisa membuat patung pasir” ucapnya memandang sekumpulan orang yang berlomba membuat patung pasir.
“Sepertinya mereka menikmatiya”
“Ya” Rekka mulai bisa menenangkan dirinya.” Aizen taichou tidak ikut?” liriknya.
“Oh, aku tidak berminat” ucapnya sambil menggosok lensa kacamatanya.”Aku hanya ingin jalan-jalan” lanjutnya sambil tersenyum. Dan mereka pun berjalan menelusuri pantai. “Ah, baru kali ini kau tidak menghindariku”
“Ah, kerang” Rekka langsung berlari menghampiri kerang yang tergeletak tertimpa sinar matahari. “Bagusnya...” dia pun memunguti kerang-kerang tersebut dan menampungnya dengan ujung kaos, membuat sebagian perutnya terlihat. Dan saat itu Aizen melingkarkan kemejanya ke pinggang gadis itu, mebuatnya kaget dan kerang-kerang pun berjatuhan.
“Tidak baik bagi seorang gadis memperlihatkan tubuhnya pada orang asing” ucapnya setelah membalikkan badan.
“Aizen taichou, sumimasen” ucapnya mengembalikan kemeja itu pada pemiliknya. Pipi gadis itu memerah karena malu dan kepanasan.
“Kerangnya?”
“Tidak usah, tidak apa-apa”
“Benar?”
“Iya” ucapnya sambil tersenyum. Aizen menyipitkan matanya, melihat matahari yang meninggi.
“Semakin panas, mau minum?” tanyanya yang segera dibalas dengan anggukan. Mereka pun duduk di salah satu bangku di tempat teduh dan memesan minuman dingin, iced lemon tea dan es serut.

^*^

Keramaian kompetisi membuat patung pasir: Byakuya membuat boneka konpaku. Rukia membuat patung chappy, Trio berantakan (Ranji, Shuuhei, Ichigo) mengahncurkan pagoda buatan mereka karena ceroboh. Semuanya asik bekerja hingga sebuah monster semangka muncul dari kumpulan semangka yang merekabawa. Sepertinya si semangka kerasukan arwah. Monster itu memiliki tentakel dan menyerang Matsumoto dan Ise yang berada tak jauh darinya. Mereka pun berteriak-teriak minta tolong.
Renji yang tanggap pun segera berlari, berusaha membantu tapi zanpakutou-nya dan yang lain ada di dalam bus.
“Hado 4, Byakurai” Byakuya mngarahkan kidou-nya ke monster itu tapi tidak mempan.
“Hado 31, Shakkakou” Hinamori ikut turun tangan tapi percuma.
“Ambil zanpakutou!” teriak Ukitake yang diikuti beberapa orang lainya.
Sementara itu...
“Wah, di sana ramai sekali” ucap Rekka sambil menyendok es serut ke mulutnya, rasa ceri dengan potongan buah segar. “Patung semangkanya bagus. Bisa bergerak” tambahnya. Aizen pun mengikuti aras pandangan Rekka, sebuah benda aneh bergerak dan dikerumuni beberpa orang yang menembakkan hado.
“Itu bukannya monster semangka?” ucapnya kemudian.
“Eh?” gadis itu mengamati lebih teliti. Dia memang punya gangguan dengan penglihatan. Dan ternyata di tentakelnya ada Rangiku dan Nanao yang meronta-ronta.
“Wah... di serang” ucapnya berlari meninggalkan pria itu dan mewujudkan pedangnya. “Suzaku, tsubasa wo hiroge” seketika sebuah pedang berelemen api dalam genggamannya. “Hi no mae” bilah-bilah pisau api pun beterbangan memotong tentakel si bulat hijau yang ternyata adalah sulur daunnya. Tubuh Rangiku dan Nanao jatuh ke pasir yang lembut. Dan monster itu pun semakin ganas menyerang Rekka yang kembali memasang kuda-kuda untuk mnyerang langsung.
“Amaterasu no ken” kobaran api ditangannya semakin menggila. Saat hendak memutar tangan, menggandakan diri sebanyak tangan dewi Amaterasu yang masing-masing memegang pedang yang berkobar, sebuah sulur menghempaskan tubuhnya jauh ke laut namun segera ditangkap oleh Aizen yang ber-shunpo.
“Aizen taichou”
“Jangan ceroboh” ucapnya menyerahkan tubuh itu pada Ukitake, namun Rekka segera turun, masih belum mau mendekati taichou-nya sebelum mengenakan bajunya kembali.
Akhirnya monster itu hancur oleh hadosu Aizen tepat saat rombongan Renji datang membawa pedang zanpakutou. Mereka pun bersorak riang, mengangkat tubuh Aizen tinggi-tinggi, mengaraknya keliling pulau dan berakhir diikat dalam tumpukan kayu bakar untuk makan malam. Eh, lho....? (= =”)

^*^

Dan perlombaan membuat patung pasir pun kembali berlanjut. Rekka duduk dipasir mengamati pekerjaan mereka yang aneh-aneh.
“Rekka san, apa kau bersenang-senang?”
“Ah, eh, iya” ucapnya grogi saat Ukitake mendekati fukutaichou itu, tapi tatapan gadis itu dipalingkan darinya.
“Benarkah?”
“Iya, benar. Aku senang. Baru kali ini aku ke pantai” ucapnya diantara senyum palsu. Sebenarnya dia ingin memungut kerang tapi insiden tadi membuatnya merinding.
“Selesai” teriak Rangiku yang menyelesaikan sebuah patung monster semangka lengkap dengan tentakel sulurnya. Ukitake pun meninggalkan gadis itu untuk menilai patung-patung yang sudah jadi.
“Hufh...” Rekka lega, taichounya meninggalkannya sendirirna. Sekarang dia ada waktu untuk membaca bukunya yang sedari tadi ada di saku celananya. ‘Icha-icha paradise' yang diberikan kenalannya, seorang shinobi, saat bertugas di real world. Lumayan meski sedikit lecek.
“Apa yang sednag kau baca?”
“Whuaa....” karena kaget buku itu sampai terlempar ke pasir. “A...Aizen taichou” gumamnya mengatur nafas. “Jangan muncul tiba-tiba seperti itu” Rekka menggeser duduknya menjauhi pria itu.
“Hahahaha.... Maaf mengagetkanmu” ucapnya tertawa kecil menanggapi overaction fukutaichou itu. “Kau masih sempat membaca di tempat seperti ini?”
“Ah, hanya kebiasaan saja. Aku tidak suka hanya diam tanpa melakukan apa pun”
“Sepertinya menarik” Aizen melirik buku hijau lusuh yang telah dipungut oleh Rekka.
“E... Iya, sepertinya begitu” jawabnya tidak yakin, berharap percakapan itu segera usai.
“Boleh lihat?”
“Apa?”
“Aku ingin lihat” di ulurkannya tangan pria itu. Dengan keringat dingin yang mulai muncul Rekka mengulurkan tangannra ragu, menyerahkan buku itu pada tangan lain.
“Taichou, kemari....” panggil Hinamori yang melambaikan tangannya dan segera dibalas oleh pria itu.
“Mungkin lain kali” ucapnya berdiri dengan senyuman menghiasi. Pria itu pun meninggalkan Rekka yang tertunduk lemas.
“Hampir saja” disekanya keringat di keningnya. Dan ditatapnya buku itudengan perasaan’ngeri’. Dan memutuskan untuk tidak membawa lagi.

Puresento

Desclaimer : Bleach by Kubo Tite
Rate : OOC
Setting : Seiretei (Soul Society)
Genre : Humor
Mood : Duno???


“Teh, Juushiro sama” Rekka menyajikan teh pada taichounya yang sibuk mengerjakan paper-work.
“Arigatou” ucapnya dan kembali menekuni paper-work yang ada. “Apa masih ada paper-work yang harus aku kerjakan?”
“Tidak ada” jawab gadis itu singkat. “Kenapa tidak dikerjakan dnegan komputer saja?”
“Tidak boleh” jawabnya. “Menggunakan komputer memang cepat. Tapi menulis tangan adalah suatu seni yang indah” jawabnya dengan sebuah senyuman yang membuat gadis itu menunduk, kembali mengerjakan pekerjaannya yang sempat terhenti.
“Repot sekali” gumamnya saat memandangi tulisan tangannya yang kalah jauh dibandingkan tulisan tangan sang atasan. Mebuatnya geli sendiri. Fukutaichou baru itu pun mengedarkan pandangannya karena pegal, tidak terbiasa dengan sekedar duduk dan membuat laporan. Mantan pasukan Onmitsukidou itu biasanya ya memata-matai dan mengeksekusi orang. Tapi kali ini dia harus duduk manis dan mendengarkan semua perkataan Ukitake Juushiro.
Pandangan gadis itu teralihkan pada Kapten batalion ke lima yang sedang berjalan dengan wakilnya di gedung yang berseberangan dengan gedung kantor batalion ke tiga belas. Wakil kapten itu terlihat manis dimata Rekka, seperti buah plum masak. “Pasti enak, makan buah plum” pikirnya saat kapten itu melemparkan sebuah senyuman padanya. Rekka pun tertegun, kaget dan segera menundukkan wajah, kembali berkonsentrasi dengan pekerjaannya.

****

“Bosan” gumam Rekka saat berjalan-jalandi seretei setelah jam kerja usai. Biasanya dia akan mengembara di tempat baru saat bertugas di Real World dan mencari sesuatu atau tempat yang menurutnya menarik. Saat hendak berbelok, matanya menagkap sebuah haori yang melambai tertiup angin. Sosok kapten itu berdiri sambil tersenyum.
“Go ban tai taichou” Rekka membungkukkan badan, memberi salam dan segera berbalik arah, kembali ke barak batalion 13. Kapten itu memandang kepergiannya dengan heran.

****

“Rekka san” ucap Ukitake Juushiro suatu pagi. “Tolong kau antarkan ini ke tempat Juu ban tai taichou dan Go ban tai fukutaichou” Kapten itu menyerahkan dua bungkusan.
“Apa ini? Sake?”
“Bukan bukan.. mereka belum cukup umur” ucapnya mengibaskan tangan.
“Lalu?” gadis itu mengamati bungkusan dengan seksama.
“Itu hanya snack. Jadi, tolong antarkan ya”
“Hai, Juushiro sama, aku pergi dulu” ucapnya membungkukkan badan lalu berlalu dengan parsel di kedua tangannya. Dlam hati dia bertanya-tanya kenapa memintanya mengantarkan parsel pada dua orang itu. Apa ini juga termasuk tugas seorang fukutaichou?

****

“Ohayou” ucap Rekka pada Matsumoto Rangiku, Juu ban tai fukutaichou.
“Ah, Rekka chan, ada perlu apa?” tanyanya ceria seperti biasanya.
“Aku diminta Ukitake taichou mengantarkan parsel untuk Hitsugaya taichou” jawabnya menyerahkan bungkusan itu pada sang wakil.
“Huh... Pasti snack lagi” keluh sebuah suara yang entah muncul dari mana.
“Taichou”
Seorang anak kecil dengan rambut putih telah duduk di meja kerjanya, membaca laporan.
“Doumo” ucap Rekka membungkukkan badan.
“Sampaikan terimakasihku pada ukitake”
“Baik. Aku permisi”ucapnya berlalu.
“Isinya apa ya?” Matsumoto Rangiku mengamati bungkusan itu lalu membukanya. Di dalamnya berisi beraneka permen, cokelat, biskuit, keripik, bahkan soba instan. “Wah, banyak sekali”
“Kalau kau mau, makan saja” kata kapten itu tidak berselera dan menunjukkan wajah depresi. ”Kenapa orang itu selalu meperlakukan aku seperti anak kecil” gumamnya kesal.

****

“Ohayou” ucap Rekka di kantor Go ban tai. Namun tidak mendapat jawaban. Menyadari pintu yang sedikit terbuka dia pun masuk. “Ano... Sumimasen” di ruangan itu tidak ada siapa pun. Ini pertama kalinya dia masuk dikantor Go ban tai taichou. Tidak jauh berbeda dengan kator yang lainya.
“Bagaimana ya?” Gadis itu berpikir sesaat. “Aku tinggal disini saja” dia pun meletakkan bungkusan tersebut di meja.
“Sedang apa kau disini?” sebuah suara yang lembut dan dalam membuatnya hampir terkena serangan jantung.
“Go ban tai taichou” ucapnya sweatdrop serasa napi yang tertangkap saat mencoba kabur dari penjara.
“Oh, Juu san ban tai fukutaichou yang baru rupanya. Ada perlu apa?”
“A... Aku... Taichou, mengantarkan titipan” ucapnya berantakan membuat kapten itu menatapnya heran dan membuatnya semakin bersweatdrop. “Ini titipan untuk Hinamori fukutaichou dari Ukitake taichou” ucapnya kemudian. “Aku permisi” gadis itu pun langsung kabur meninggalkan pria itu dalam keadaan bingung untuk kedua kalinya.

****

Suatu siang di Kediaman Ukitake Juushiro, Barak divisi 13.

“Ukitake, kemana Rekka chan? Aku tidak melihatnya sejak tadi”
“Ah, entahlah. Dia bilang ingin membuat sesuatu” ucap Ukitake membuka kartu ditangannya.
“Begitu?” Kyoraku pun membuka semua kartu ditangannya. “Aku menang lagi” ucapnya senang karena akan ditraktir sake oleh sahabatnya.
“Hm... Kyoraku, apa kau mencium sesuatu?”
Snif snif snif Kyoraku mengendus endus “Seperti bau gosong” ucapnya mengernyitkan dahi.
“Ah, Rekka” mereka pun berlari ke arah dapur dan menemukan sang wakil dan omelet gosong dihadapannya,
“Gagal lagi” gumamnya T_T
“Wah, sayang sekali. Padahal kelihatannya enak” hibur Kyoraku.
“Rekka. daijoubu”
“Juushiro sama, aku tidak apa-apa. Aku bisa mencobanya lain kali atau belajar dari fukutaichou yang lain” ucapnya menghibur diri sendiri. “Maaf tidak pernah menyajikan sesuatu yang layak”
“Itu tidak masalah”
“Nee.. Rekka chan, bagaimana kalau belajar dengan Nanao chan-ku?”
*****
Dapur divisi 8, sore.
“Bulatkan adonanya selagi panas” ucap Ise Nanao yang membuat bulatan mochi isi kacang merah. “kalau tidak dibuat dengan cepat adonannya akan mengeras” lanjutnya. Rekka pun mengikuti instruksi Nanao namun karena panas adoanan ditangannya dilemparkan begitu saja hingga menempel di wajah perempuan di sampingnya.
“Go-me-na-sai” ucapnya dengan perasaan bersalah campur malu dan kaget.
“Daijobu daiyo” ucapnya membersihkan muka.

***

Dapur divisi 10, sore, dua hari kemudian.
“Ya, bagus. Tumis sampai bumbunya meresap” Ucap Matsumoto Rangiku.
“Baunya harum sekali” Rekka menghirup aroma sedap masakannya.
“Agar lebih enak tambahkan sake” Rangiku menuangkan sake pada wajan dan
BUMB.... PRANG... KLONTANG... KLONTANG...
“Hwua...... Gomene Rangiku san” Rekka panik dan membereskan wajan beserta isinya yang berantakan dilantai. “Aku takut pada api besar”
“Sudahlah” Matsumoto Rangiku menghela nafas. Fukutaichou dengan zanpakutou elemen api takut pada api. Benar-benar payah.

****

Dapur divisi 13, sore, stu mingu kemudian.
“Ini umeboshi kan?” Rekka menusuk-nusuk benda bulat berwarna pink dalam piring dengan sumpit.
“Iya. Sebagai awalan kita buat onigiri” ucap Hianmori Momo yang membuat kepalan nasi berisi umeboshi. “Kita buat kepalan dulu, bentuk segitiga dan beri nori” lanjutnya meletakkan sebuah onigiri cantik pada nampan. “Bagaimana mudah kan”
“Ya, aku coba” Rekka menirukan instruksi Hinamori, namun onigiri buatannya tidak berbentuk segitiga melainkan bola. “Eh, bagaimana ini?”
“Tidak masalah masih bisa dimakan” jawabnya sambil menggigit onigiri buatan Rekka.
KARAUK... KARAUK...
“Ke...kenapa suaranya begitu?” Rekka bersweatdrop melihat Hinamori memakan onogiri abnormal buatannya. “Se...seram...” gumamnya kemudian.
“Kita bisa coba lagi” ucap gadis itu penuh senyum semangat.
“Baik”

*****

Satu minggu kemudian. Setelah membuat dapur divisi 13 kebakaran.
“Enak”
“Benarkah?”
“Benar” ucap Ukitake dengan senyum menawannya. “Cocok sekali dengan teh yang kau buat” lanjutnya menggigit mochi teh hijau buatan tangan Rekka.
“Kalau begitu aku akan membaginya dengan Hinamori fukutaichou” ucapnya bersemangat dan segera kembali ke dapur untuk menata mochi-mochi itu.

****

“Rekka san, terimakasih. Pasti enak” ucapnya dengan senyuman yang benar-benar manis.
“Aku yang harusnya berterimakasih”
“Bagaimana kalau kita makan sambil minum teh”
“Ng... Mungkin lain kali. Aku masih harus mengantarkan ini pada Ise san dan Matsumoto san” jawabnya. “Lagi pula satu minggu ini aku meninggalkan banyak pekerjaan pada Ukitake taichou” lanjutnya.
“Aku tunggu” ucapnya sebelum fukutaichou itu meninggalkan barak Go ban tai.
“Ah, kalau begini sama saja. Ada atau tidak ada aku, Kotetsu dan Kotsubaki yang mengerjakan pekerjaanku” gumam Rekka sambil melompati gedung untuk mempersingkat waktu. Dan mendarat hampir sempurna di sebuah gedung karena kaget.
“Go bantai taichou” Rekka memperbaiki posisinya dan membungkuk. Entah kenapa keadaannya selalu tidak baik. Kali ini dia mendarat tepat dihadapan kapten itu. Sebuah kebetulan yang menurutnya menyebalkan. Pria itu tersenyum saat hendak mengatakan sesuatu tapi wakil itu telah melompat ke gedung yang lainya. Ditatapnya gadis itu dengan dahi berkerut.
“Wah...wah... Ada yang tidak menyukai Aizen taichou rupanya?”
“Gin ka?”
“Jadi itu wakil kapten divisi 13 yang baru?” tanya pria kurus berambut keperakan dengan senyum diwajahnya.
“Gin, apa aku terlihat seperti setan?”
“Umm....Tidak juga” jawabnya.
“Lalu kenapa dia selalu kabur setiap bertemu denganku?” ucapnya seolah ada awan hitam dengan petir menyambar di atas kepalanya, membuat Ichimaru Gin bersweatdrop ria.

******

“Douzo” Hinamori menyajikan kue mochi dan teh pada Aizen yang baru datang.
“Kau masih saja sempat membuat kue walaupun sibuk” disupanya sebuah mochi. “Dan selalu enak”
“Sebenarnya bukan aku yang membuat mochi ini. Tadi Juu san ban tai fukutaichou yang membawanya”
“Dari Ukitake ya?”
“Rekka san sendiri yang membuatnya” ucapnya dengan senyum ceria.
“Hinamori kun”
“Ya”
“Apa aku menyeramkan?”
“Kenapa taichou bertanya seperti itu?” Hinamori menatap kaptennya heran. “Aizen taichou adalah orang yang baik dan ramah pada kami semua. Dan pastinya banyak yang menyukai Aizen taichou. Kenapa taichou berpikir begitu?”
“Sou ka?” di usapnya kepala fukutaichou itu dan membuat pipinya merona merah.
Aizen tersenyum dan menatap langit senja. Warna sakura terlukis indah, menggantikan biru yang memudar. “Omoshiroi” guamamnya kemudian.

Kamis, 07 Juli 2011

Summer Festival

Desclaimer : Bleach by Kubo Tite
Rate : Indonesian.
Type : OOC/AU
Genre : Romance/Aizen Sousuke-Aihana Rekka



Prolog


Summer.... Summer....
Sunshine.... Sunflower....
Love begin in summer....


Di kejauhan seorang pria ber-yukata sedang berjalan bersama kerumunan orang lainya yang memadati pinggiran sungai Onosegawa, dimana festifal musim panas terbesar Karakurachou selalu diadakan. Sepertinya dia tidak punya arah dan tujuan. Matanya menyapu sekeliling yang terang penuh warna hingga terhenti pada seorang wanita muda yang bernafsu menjaring ikan yang sudah teler. Tapi tidak satu pun ikan yang tertangkap.

Diamatinya beberapa saat. Sepertinya dia mengenali wanita itu. Wajahnya yang terkesan judes dan serius. Yah, agak mengecoh dengan yukata bermotif kupu-kupu dan rambut yang diikat seperti itu, masih terlihat seperti anak SMU. Bisa dikira pedofil kalau mendekatinya tiba-tiba. Apalagi ada dua remaja yang akrab dengannya.

“Hei, Memangnya aku setua itu? aku baru dua puluh tujuh tahun” kata hatinya
“Memangnya wanita itu berapa usianya?” tanya hatinya yang lain.
“Sepertinya masih SMU”
“Mana mungkin? Dia seorang reporter Tv. Lulus SMU 18 tahun. Kuliah 3 tahun. Paling tidak usianya dua puluh dua tahun kan?”
“Benar. Aku masih pantas untuknya”

“Huh, baka.” Gumam Aizen Sousuke menyadari pikiran aneh yang terlintas dikepalanya.
Entah kenapa dia peduli dengan wanita itu. Atau terpaksa peduli padanya karena kebetulan yang tidak terhindarkan. Sekali lagi tatapannya kembali pada wanita itu. Tangannya masih sibuk dengan jaring dan ikan mas, sesekali diwarnai cek cok kecil dengan pemuda disampingnya. Sepertinya adik, karena ada kemiripan diwajah keduanya. Sama-sama bermata bulat, berambut lurus yang terlihat lembut, alis yang tidak tebal dan senyuman yang khas. Kalau gadis berambut panjang yang bersama mereka, kemungkinan pacar sang adik.

Wanita itu tipe gigih atau keras kepala, tidak beda jauh memang. Menarik sekali melihatnya. Dia itu masih sibuk menangkap ikan dan terhenti untuk menerima panggilan di ponselnya. Entah panggilan apa yang mengalihkannya dari ikan-ikan teler dalam ember dan meninggalkan dua remaja yang masih asik bermain.

****

“Ah, dapat dapat” seru seorang wanita muda dengan yukata motif kupu-kupu dan rambut dijepit yang menjaring ikan mas. “Yah, lepas”. Sayang sekali, jaring kertas yang pakainya telah rusak.

“Lihat aku” ucap seorang pemuda yang juga mengenakan yukata merah bata. Di kepalanya terpasang topeng kitsune. Pemuda itu pun mulai mengubek-ubek ember berisi ikan mas dengan jaring dan seekor ikan mas berhasil dipindah ke mangkok. “Rekka nee-chan, aku hebat kan”ucapnya pamer.

“Ryuu sombong. Aku mau coba lagi” ucap Aihana Rekka yang mulai bernafsu menjaring ikan mas yang telah teler. Namun tak seekor pun yang berhasil terjerat, justru ikan berenang bebas melewati lubang jaring kertas ke limanya. Dia pun menatap kesal ikan-ikan yang menari di ember seolah mencemoohnya ‘BAKA’.

Sebuah lagu dari Gazzete “Shiver” mengalun dalam keramaian. Lantunan itu berasal dari sebuah ponsel.

“Moshi-moshi” jawabnya pada ponsel. “Iya, aku sudah disini sejak tadi. Aku segera ke sana” Aihana Rekka pun meniggalkan sang adik, Aihana Ryuu, yang masih sibuk mengubek-ubek ember ikan mas untuk pacarnya.

Aihana Rekka berjalan menuju gerbang kuil yang penuh dengan lentera warna-warni dimana Hisagi Shuuhei, Ichinose Maki dan beberapa kru lainya menunggu untuk mengadakan siaran langsung liputan festifal musim panas terbesar di Karakurachou.

“Gomene” ucapnya setengah berlari mengehampiri mereka yang telah menunggu. Meskipun bekerja ternyata mereka juga berniat untuk jalan-jalan dan melepas penat. Terbukti dengan penampilan informal mereka; Hisagi Shuuhei mengenakan singlet dan celana pendek, Ichinose Maki pun tidak jauh beda. Sedangkan Menoli, make-up artist, mengenakan yukata motif ikan mas dan kru lain yang hanya mengenakan kaos dan celana pendek.

“Yosh” ucap Hisagi. “Kawaiii...” pujinya pada wanita muda itu sambil mengedipkan mata kirinya yang disambut dengan death attack yang segera di tangkis oleh pria bertato itu dengan kekehan ala Tenma.

Author: Tenma adalah salah satu nama iblis penjaga surga yang senang tertawa.

“Dari kawasan sungai Onosegawa. Bisa kita lihat keramaian festifal musim panas terbesar tahun ini. Ramainya pengunjung dan banyaknya kios menunjukkan antusiasme warga. Malam ini juga akan di dakan hanabimatsuri seperti tahun-tahun sebelumnya. Kembang api akan diluncurkan tepat jam delapan. Sekitar seribu lima ratus buah kembang api akan menyala selama sepuluh menit”

*****

Laporan pertama telah selesai. Masih ada waktu sekira dua jam menuju jam delapan. Matahari meninggalkan semburat sakura di ujung barat cakrawala. Suasana sekitar sungai pun mulai ramai olah anak-anak maupun orang dewasa. Yukata aneka warna dan motif tampak mendominasi. Aroma lezat takoyaki, cumi panggang, unagi bakar, gulali bahkan es serut tampak menggoda. Berbagai permainan seperti menjaringikan mas, adu ketangkasan, lemar bola pun ramai di kunjungi. Penjual topeng, mainan, dan lentera pun penuh sesak. Kru TVX akhirnya memutuskan untuk jalan-jalan sebentar dan menikmati suasana menyenagkan itu.

“Ryuu...” panggil Aihana Rekka pada adiknya yang bermain adu ketangkasan. Dia pun terpisah dari rombongan dan kehilangan jejak sang adik dan pacarnya yang menghilang dalam keramaian. Karena bertabrakan dengan ramainya manusia tubuhnya oleng dan hampir tesungkur kalau tidak ada yang memegangi tangannya.

“Ah, Shuu...-hei” kata-katanya terputus. Orang yang disangkanya Hisagi Shuuhei ternyata orang lain.
“Daijobu?”
“Hai, daijobu desu”

Pria itu mengenakan yukata biru bergaris, rambut coklatnya dibiarkan begitu saja, dan sebuah kacamat membingkai mata coklat terang yang mengagumkan.

“Inspektur Aizen?” ternyata inspektur itu yang menggenggam tangannya. “Gomene” ucapnya saat inspektur itu telah melepaskan tangannya. “Arigatou”.
“Oh, kau”
“Setiap tahun stasiun Tv kami selalu meliput festifal ini” terangnya tentang keberadaannya saat itu. “Apakah inspektur sedang bertugas?” tanyanya sambil berjalan di samping pria itu. Mencolok sekali perbedaan tinggi badan mereka, Aihana Rekka hanya sebahu pria itu.

“Tidak. Aku hanya melihat-lihat saja”
“Souka” gumam wanita muda itu.
“Dimana kru-mu?”

“E..to...” dilihatnya sekelilingnya. Ternyata Shuuhei, Maki ataupun Menoli tidak lagi bersamanya. “Kami tadi sedang istirahat dan jalan-jalan sebentar sebelum siaran lagi, tapi sepertinya aku terpisah” ucapnya sambil tertawa kecil. “Oh, ya, Inspektur sendirian saja?”

“Ya, kenapa?”
“Tidak. Biasanya selalu ada Ichimaru san dan Tousen san”
“Gin sudah menikah. Tidak selayaknya dia keluyuran, apalagi istrinya sedang hamil. Kaname mendapat promosi dan sepertinya dia bekerja lebih keras” jelasnya.
“Jadi karena itu Inspektur sendirian saja. Bukankah lebih menyenangkan bila ada yang menemani?”
“Kau sendiri bekerja”
“Mau bagaimana lagi, resiko wartawan” ucapnya sambil megangkat kedua tangan.
“Kalau begitu, apa kau mau menemaniku jalan-jalan sebentar?”
“Boleh”

Mereka pun berjalan diantara keramaian.

“Aku senang sekali setiap datang ke festifal seperti ini” ceritanya sepanjang jalan. “Padahal sudah berkali-kali tapi tidak pernah bosan. Rasanya selalu ada yang baru” lanjutnya.

“Kau mau main?” tanyanya pada wanita disampingnya.
“Main apa? Kalau menjaring ikan sudah dari tadi gagal terus”
“Bagaiman kalau itu” tunjuknya pada sebuah permaian adu ketangkasan, melempar bola. Ada hadiahnya macam-macam.
“Boleh”

Mereka pun mendatangi stand permaian itu dan mencobanya. Setiap orang mendapat tiga buah bola dan harus menjatuhkan botol yang telah disusun di atas sebuah box.

“Yah, gagal” Aihana melemparkan bolanya namun meleset jauh.
“Coba lihat”ucap inspektur itu tapi bolanya meleset juga.
“Wah, sayang sekali”
“Iya. Ternyata aku payah juga” ucapnya disela-sela tawa. Ternyata dia bisa juga tertawa, pikir Aihana Rekka.

“Wah, es krim Turki. Inspektur mau? Ini enak lho...” katanya yang berjinjit karena antrian yang cukup panjang. Mengantri dianatara anak-anak, remaja maupun dewasa sambil berjinjit. Sesungguhnya tubuhnya memang tidak tinggi, dibawah rata-rata malah. Agak berbeda dengan yang ada di televisi. Sungguh mengecoh. Setelah tiba gilirannya, Aihana Rekka langsung memesan dua buah es krim rasa vanilla. Entah kenapa perasaaan Aizen Sousuke seperti digelitik. Dia ingin tertawa melihat tingkah wanita dihadapannya.

“Rasa vanilla memang paling top” gumamnya setelah menggigit es krim kenyal yang diterimanya dari tangan pria itu. Vanilla yang lembut dan dingin segera meleleh di mulutnya, membuatnya tersenyum menikmati. Mata bulatnya menyipit bila tersenyum.

“Manis” gumam Aizen sambil menggigit es krim ditangannya.

“Aduh, jepit rambutku”gumamnya. Jepit rambut wanita itu lepas, membuat sebagian rambutnya terurai. “Bagaimana ini”

Ditangan kanannya masih ada es krim dan tangan kirinya sibuk memegangi rambut dan berusaha menjepitnya kembali, namun gagal.

“Aku bantu”

Aizen pun meraih jepit rambut itu dari tangan Aihana. Menjalin rambutnya yang memang terasa lembut ditangan dan menjepitnya dengan kuat. Tapi entah kenapa dia ingin mengurai rambut itu kembali dan terus membelainya. Aneh sekali dia berpikiran seperti itu. Mungkin karena akhir-akhir ini membaca cerita yang mengandung roman, kata hatinya.

“Sudah?” tanyanya menyadarkan Aizen dari lamunan.
“Ya”
“Arigatou”

Sejenak tadi, rasanya ada yang ganjil. Saat tangan inspektur itu menjalin rambutnya. Entah apa. Ajaib, rasanya menyenangkan. Rasanya seperti rindu. Rasanya sudah lama sekali. Tapi kenapa?

****



“Nah, kita menuju menit-menit terakhir menuju dinyalakannya kembang api. Pengunjung semakin antusias dan memadati pingiran sungai Onosegawa. Bisa anda lihat, betapa ramainya” ucap seorang reporter wanita yang mngenkan yukata bermotif kupu-kupu yang berdiri diantara kerumunan manusia di tepi sungai.

“Kembang api akan dinyalakan dari dua sisi. Yang pertama dari seberang sungai dan yang satunya dari sebelah sungai ini” lanjutnya menunjuk posisi peledakan kembang api. Dimana panggung yang dipakai telah dihiasi olah lampu dan lentera warna-warni.
“Saya informasikan kembali, kembang api yang dipakai tahun ini meningkat menjadi seribu lima ratus buah dan akan dinyalakan selama sekitar sepuluh menit. Nad abisa melihat betapa antusiasnya warga Karakura untuk menyaksikan festifal musim panas terbesar di kota ini”

“Ya, satu menit lagi. Dan pengunjung mulai menghitung mundur. Mari kiita hitung bersama-sama”

“Delapan, tujuh, enam, lima, empat, tiga, dua, satu.....”

DZIIIINGGG........ DUAR... DUAR... DUAR.... PLETAK PLETAK.....

Tiga kembang api pertama telah meluncur dan meledak, berwarna merah, hijau dan biru yang indah. Lalu diikuti oleh ledakan penuh warna lainya di gelapnya langit bertabur bintang di atas Karakurachou. Riuh tepuk tangan dan nyayian menghangatkan suasana. Pemangdangan yang selalu menyenagkan dan penuh kenangan.

“Demikianlah, perayaan festifal musim panas terbesar Karakurachou tahun ini. Aihana Rekka, Higasi Shuuhei dan Ichinose Maki melaporkan dari kawasan sungai Onosegawa untuk TV X”

*****

“Tidak buruk untuk sebuah siaran langsung” komentar sang inspektur yang ikut melihat kembang api di tepi sungai bersama kru TV X.
“Arigatou” ucapnya menganggukkan kepala.

“Ini hadiah untukmu” ucapnya menyerahkan sebuah kantong plastik berisi dua ekor ikan mas. Dia tidak tahu kapan pria itu menjaring ikan. Tiba-tiba dia muncul bersama benda itu.

“Ah, arigatou” sebuah senyum secerah bunga matahari menghiasinya. Diterimanya kantong itu dari tangan sang inspektur.

****

Epilog

“Rekka nee-chan, akhirnya dapat ikan juga” ucap Aihana Ryuu saat melihat sang kakak memindahkan dua ikan mas ke akuarium, atau lebih tepatnya disebut toples.


“Ikanmu mana?” tanyanya pada sang adik yang baru pulang.

“Aku berikan pada Kiyoe” jawabnya. “Dia sama payahnya dengan kakak, tidak bisa menjaring ikan” ejeknya yang segera kabur ke kamar sebelum mendapat cubitan super dari sang kakak.

Tatapan Aihana Rekka segera kembali pada dua ikan yang berenang riang. “Ai-Koi?” gumamnya.


Hanabira (Flower Petals)




Desclaimer : Bleach by Kubo Tite
Rate : Indonesian.
Type : OOC/AU?M
Genre : Mystery/Romance/Aizen Sousuke-Aihana Rekka




Rintik hujan kembali turun di awal bulan Juli. Terlihat indah dalam siraman sinar senja. Di suatu tempat mungkin muncul pelangi yang indah.

“Aizen keibu, telepon dari markas pusat di saluran tiga” panggil seorang resepsionis yang segera di datangi oleh yang bersangkutan.
“Moshi moshi....” didengarkannya ocehan dari seberang. “Sumimasen. Hai, hai, wakatta” ditutupnya telepon itu dengan wajah suram. Ada kekesalan dimatanya.

“Nani Aizen keibu? Kelihatannya kesal sekali. Dari markas pusat ya?”
“Nandemonai” jawabnya meraih mantel dan meninggalkan ruangan.

Hujan masih jatuh. Rintiknya lembut namun mengerosi. Dijalanan orang berlalu lalang, berusaha segera menuju tempat teduh da kering. Tidak dengannya yang justru berniat hujan-hujanan. Bukan kurang kerjaan, hanya melepas stress.

Dan lagi,

Di seberang jalan, dia melihat wanita itu. Sendirian. Entah kenapa bisa langsung mengenalinya diantar keramaian. Sosoknya tiba-tiba saja melekat dalam ingatan. Dia mengenakan jas hujan, sebuah payung dan sepatu boot sebetis dengan belanjaan ditangannya. Mungkin dia sudah selesai bekerja.

Wanita itu berjalan. Seolah sendirian. Seolah dunia ini miliknya. Dia berjalan seolah yang lain menghilang dari hadapannya bahkan saat mereka berpapasan. Mata wanita itu tidak juga menangkap bayangnya. Sungguh sosok yang angkuh.

*****

“Ara, hujan lagi” gumam Aihana Rekka saat hendak meninggalkan kantor. Hari ini dia lupa tidak membawa payung atau jas hujan.
“Kau belum pulang?” tanya Shuuhei yang menekan vanding machine disampingnya, mengambil sekaleng kopi.
“Lupa tidak bawa payung”
“Makanya lain kali kau simpan di laci untuk cadangan”
“Iya, aku diceramahi” gumamnya melirik pria disampingnya.
“Ini” disodorkannya sebuah jas hujan tipis dan sebuah payung. “Milik Asano, kau boleh pinjam”
“Asano? Kau masih kencan dengannya ya?”
“Ng....iya” jawabnya dengan pipi merona. Lucu sekali melihat Hisagi Shuuhei yang merona. Membuat Aihana Rekka iseng mengerjainya.
“Waah, aku iri padamu”

“Ah, jangan begitu” dia mulai garuk-garuk kepala, salah tingkah. “Kau sendiri, kenapa bersama Kuran Rido? Kapan dia kembali ke Jepang?”

Tiba-tiba wajah wanita itu berubah mendung. “Tidak usah dipirkan” jawabnya dnegan sebuah senyum palsu. “Terimakasih payungnya. Jarang sekali aku bertemu gentleman sepertimu” ditinjunya lengan pria itu, lembut.

“Terserah kau sajalah” ucapnya kemudian, jengah digoda terus olehnya.

Aihana Rekka melangkahkan kaki menuju halte, tidak jauh dari stasiun Tv X. Hari ini, pekerjaannya selesai lebih cepat. Namun rupanya hujan masih enggan untuk berhenti. Walau pun satu jam waktunya telah dihabiskna di sebuah departemen store. Dia terus melangkah diantara keramaian. Dan matanya menagkap sesosok yang selalu dikejarnya. Seorang pria yang sulit didekatinya.

Ada kekesalan diwajah pria itu. Mungkin sedang stress karena tekanan pekerjaan. Ya, pekerjaannya itu memang selalu penuh tekanan, baik internal maupun eksternal. Apa dia masih mengenaliku? Tanya hatinya. Saat mereka berpapasan tidak ada kata yang terucap atau mata yang beradu. Semuanya bergerak dalam dunia masing-masing.

****

“Konbanwa”

“Mau apa lagi kau datang kemari?” Aihana Rekka terus berjalan menuju apartemnnya. Tidak menghiraukan Kuran Rido yang membuntututi. Pria itu basah, dari ujung rambut hingga sebagian kemejanya. Sebenarnya terlihat menarik, apalagi kancing kemeja itu terlepas beberapa. Hanya...

“ Kenapa kau terus menghindariku?”
“Sudahlah Rido. Tidak ada yang pernah terjadi diantara kita. Kau bisa mengejar gadis lain kalau hubunganmu dengan Eiko selesai”

Tachibana Eiko adalah teman Aihana Rekka saat mereka masih SMU dan Kuran Rido adalah kakak senior. Mereka dipertemukan di suatu klub debat yang diikuti oleh Eiko di universitas. Sedangkan dirinya ada di klub seni lukis. Lukisannya memang tidak bagus, tapi dia menyukai kegiatan itu. Sekedar mengisi waktu luang. Karena sering bertemu, mereka pun menjadi dekat.

“Kau bisa berkata seperti itu. Kejam sekali” ucapnya melankolis. Hal yang paling dibenci olehnya.
“Kalau kau mau, aku punya beberapa teman. Mungkin kau tertarik. Mereka pasti menyukaimu yang tampan dan kaya” dibukanya dompet dan mengeluarkan beberapa lembar kartu nama.
“Jadi, dimatamu aku sehina itu” ada mendung yang menggantung diwajahnya.
“Aku...” Aihana Rekka tercekat atas statemen itu. Membuatnya merasa bersalah.

“Maaf, aku tidak bermaksud begitu” dibukanya pintu apartemen itu. Tidak luas. Hanya ada sebuah sofa, bersebelahan dnegan dapur kecil, sebuah rak yang memisahkannya dnegan tempat tidur dan sebuah kamar mandi di samping pintu. “Masuklah”.
“Kau tinggal sendiri?”
“Ya”
“Bukankah berbahaya bila wanita sepertimu tinggal seorang diri?”
“Kau mau berniat jahat padaku?” ditatapnya pria itu tajam dengan sebuah pisau ditangan.

“Tidak, bukan maksudku” kini, gilirannya merasa bersalah. Atas ucapannya barusan. Atas tindakannya tempo hari. Atas perlakuannya dimasa lalu. Wanita dihadapannya menjadi demikian keras. Apa itu karena dirinya? Apa dia trauma sehingga tidak menjalin hubungan dengan pria manapun?

“Minumlah” diletakkannya dua cangkir teh lemon hangat.
“Sankyu”

Keadaan hening sesaat. Hanya rintik hujan yang jatuh di jendela.

“Aku minta maaf. Aku sudah kurang ajar padamu” ucapnya setelah menyesap teh lemon yang menghangatkan tubuhya.”Aku, dulu dan sekarang, maaf...”

PLAK....

“Brengsek kau, Kuran Rido” ditatapnya pria itu tajam. Dan sebuah tamparan kembali melayang di pipinya yang panas. “Aku benci padamu. Aku benci harus bertemu denganmu” ucapnya dengan nada meninggi, berusaha mengendalikan gemuruh dalam dada dan genangan dalam matanya.

“Huh” disentuhnya pipi kirinya. “Lakukan saja apa yang kau mau. Kalau memang itu bisa menyenangkan hatimu”
“Kenapa kau kembali? Kenapa kau muncul dihadapanku?”
“Aku...”
“Sudah, jangan bicara lagi” ucapnya menenangkan diri dan sebuah panggilan masuk di ponselnya, dari Hisagi Shuuhei.

“Ada apa?” bentaknya. “Aku baik-baik saja, maaf” dia mengela nafas beberapa kali. “ Baiklah, aku tunggu”
“Ada apa?”
“Ada kasus penyerangan di Mashiba. Maaf, sebaiknya kau cepat pergi”

*****

“Abarai Renji” panggil seorang pria dengan rambut di cat biru bersama lima orang lainya.
“Hah, kau mau menantangku lagi? Sudah bosan hidup rupanya” ucapnya dengan senyum menyeringai seusai makan malam setelah berlatih skateboard untuk pertandingan musim panas di akhir bulan.
“Siapa dia, Renji?” tanya seorang gadis yang bersamanya.
“Rukia, kaero” didorongnya tubuh mungil itu.
“Tapi”

“Aku bilang, cepat pulang sana” bentaknya membuat gadis itu terkejut dan mundur beberapa langkah. Setelah mendapat tatapan tajam dari Renji, dia pun berlari menjauh tepat saat suara tembakan pertama terdengar memecah langit mendung yang disertai grimis.

“Renji” teriak pemuda lainya, Kurosaki Ichigo. “Bakayaro” ditendangnya tangan Grimjow hingga menghantam tembok. Namun segera di pukul dengan tongkat bisbol oleh yang lain. Tepat di punggungnya. Membuatnya tersungkur.
“Uso” dia berusaha bangkit dengan tenaga yang dimilikinya. Menyerang orang yang mengelilinginya dan mendapat pukulan bertubi-tubi hingga roboh.
“Kurosaki Ichigo, mati kau” diacungkannya sebuah revolver ke arah pemuda itu. Dan pelatuk pun telah ditarik.

“YAMERO....” teriak seorang polisi yang diikuti beberapa polisi lain. Membuat rombongan itu lari kalang kabut.

“Renji... Ichigo....” Kuchiki Rukia beteriak histeris. Dua sahabatnya tergeletak bersimbah darah. Sebuah peluru bersarang di dada Abarai Renji yang tidak sadarkan diri. Sedangkan Kurosaki Ichigo tergeletak lemas dengan kepala bocor dan tulang rusuk patah.

****

“Apakah anda melihat saat kejadian berlangsung?” tanya Aihana Rekka pada seorang pekerja kantor disekitar sana.

“Ya, kejadiannya cepat sekali. Saat itu aku sedang makan di depan. Tiba-tiba rombongan itu muncul. Aku pikir pertengkaran anak muda seperti biasanya. Tidak kusangkan ada yang membawa senjata api” jawab salah seorang saksi mata.

“Kira-kira jumlahnya berapa orang?”
“Aku tidak tahu pasti, mungkin sekitar lima tau enam orang”
“Ah, ya, terimakasih atas keterangannya”

“Rekka, itu” Shuuhei memberi isharat atas kedatangan Aizen Sousuke dan partnernya yang segera memburu sang inspektur bersama dnegan reporter stasiun Tv lainya.
“Cepat sekali beritanya menyebar” gumam Aizen Sousuke saat wartawan mulai mengerumuninya.

“Aizen keibu, kira-kira siapa pelaku penyerangan ini?”

“Dua korban kali ini siapa saja?”

“Apa ada hubungannya dengan penemuan mayat di sungai Karasu dua satu minggu yang
lalu?”

“Apa motif dari semua kejadian ini?”

“Aizen keibu, tolong penjelasannya”

Para wartawan itu terus saja mengerumuni sang inspektur untuk meminta penjelasan atas kasus penembakan dan pengeroyokan yang tidak jelas ujung pangkalnya. Sedangkan kedua korban telah dilarikan ke Karakura Byoin.

“Kalau kami sudah menyelesaikan penyelidikan pasti akan memberitahunya pada kalian. Jadi tolong minggir dulu dan jangan menghalangi penyelidikan” ucap Ichimaru Gin dengan senyuman khasnya. Dan anehnya ada saja yang terpikat dengan senyum sang siluman ular perak itu. Pernyataan itu ditanggapi dengan gerutuan oleh para wartawan yang segera menghilang menuju Karakura Byoin.

*****

Aizen Sousuke turun dari mobilnya di Tsubakidai Koen. Senja telah turun menghantar malam. Dia baru saja mendatangi rumah salah satu korban yang bernama Kurosaki Ichigo. Ternyata putra dokter di klinik yang pernah di kunjunginya saat kaki Aihana Rekka terkilir.

Dan kini, dia melihat sosok itu sekali lagi, dengan kimono berlengan kupu-kupu bermotif bunga kiku. Rambutnya disanggul dengan sebuah sisir kupu-kupu. Mungkin dia menghadiri acara penting, pernikahan kerabat misalnya. Dia terlihat manis. Namun wajah itu bukan wajah bahagia. Ada mendung disana. Bukan hanya itu, ada genangan tertahan dimatanya.

Dia duduk di ayunan dan bergerak pelan, menatap langit jingga. Pikirannya menerawang jauh.

“Tinggal aku ya?” gumamnya.

“Anata e” diberikannya setangkai cosmos yang mekar ditaman itu.
“Ano, arigatou” diraihnya cosmos merah muda, “Artinya kedamaian. Sekarang aku sudah tahu. Semoga hatimu juga damai” kenangnya pada rangkaian tulip aneka warna. Makna sebenarnya adalah matamu indah. Tidak salah. Tapi pelayan yang memberikannya, karena Aizen bilang menjenguk teman wanita. Sebenarnya pelayan itu menebak dan benar.

“Hitori de?”
“Apa? Ah, iya” ditatapnya inspektur yang ikut-ikut duduk di ayunan, disamping wanita itu. Responnya lambat, tanda dia melamun.

“Ada masalah?” tanyanya namun wanita itu diam. Membuatnya merasa kurang ajar karena menanyakan yang bukan urusannya.

“Ya.” Jawabnya singkat sambil meutar-mutar setangkai cosmos. “Anda belum mau memberi keterangan tentang korban dan motifnya”

Lagi-lagi pekerjaan yang dibicarakannya. Tapi hal yang menggantung dimatanya, jelas bukan itu. Mungkin bukan hanya itu.

“Dia anak pemilik klinik yang kita kunjungi saat kakimu terkilir” ceritanya. “Aku baru dari sana”
“Benarkah?”
“Hah, anak muda jaman sekarang banyak tingkah” keluhnya.

“Memangnya saat inspektur masih muda tidak begitu ya?”

Hanya kekosongan yang diraihnya saat mencoba menjawab pertanyaan itu. “Tapi tidak separah ini” jawabnya kemudian.

“Iya juga ya” ucapnya diantara tawa kecil.

Dia tertawa. Menyenagkan sekali melihat wanita itu tertawa. Tapi tawa itu bukan
tawa ringan. Hanya sebuah tawa kesopanan.

“Sedang apa kau disini?”
“Ah, aku? Ah, tidak. Hanya iseng. Aku baru pulang dari pernikahan sepupuku. Cepat sekali rasanya. Padahal kami bertiga tumbuh bersama, dan dua dari kami telah menikah” jelasnya tidak bertenaga.

“Jadi karena itu kau menangis?”
“Aku tidak menangis” elaknya, memungkiri maskara yang menyisakan noda di pipi. “Hanya kehilangan”
“Souka”

Pipipipipipi pipipipi pipipi

Sebuah pesan singkat masuk ke ponsel Aizen Sousuke.

“Sepertinya aku harus meninggalkanmu. Maaf tidak bisa mengantarmu pulang”
“Bukan masalah. Aku juga belum berniat untuk pulang” jawabnya ala kadarnya.

Pria itu berlalu dan berhenti setelah dua lankah. “Aihana, korban lainya bernama Abarai Renji, dia menumpang tinggal di Mitsumiya, disebuah toko milik Uruhara Kisuke”

“Hah, arigatougozaimashita” ucapnya dengan senyum yang kembali cerah. Matanya berbinar terang. Benar-benar manis. Dan dibalas dengan senyuman oleh inspektur itu.



Author's note:

Kata Cosmos dalambahasa Yunani diterjemahkan sebagai tertib,indah dan hiasan. Aroma dan warna yang semarak diartikan sebagai kedamaian, keutuhan dan kesopanan. Arti Cosmos bunga adalah 'bunga cinta'.

Cosmos bunga dipandang sebagai cara terbaik untuk menggambarkan perasaan yang terdalam cinta 'berjalan dengan Aku berpegangan tangan' dan 'melihat hidup memang indah'

Tsuki no uta

Desclaimer : Bleach by Kubo Tite
Rate : Indonesian.
Type : OOC/AU/M
Genre : Mistery/Detective/Litle bit Romance



“Yoru tsuki, kirei ni tsuki. Boku wa shinigami. Yoroshiku na...khukhukhu....” seringainya diantara syair yang dinyanyikannya. “Hana o tsundeikimasho....” lanjutnya memetik bunga krisan yang sedang mekar penuh.
“Kireika?”
“Kirei janai?” Dia terlihat tampan dibalik cahaya bulan. Namun pucat dengan senyum sinis menghiasi. “Demo, tanoshikute” direnggutnya rumpun itu sekaligus. Membuatnya tercerabut cari tanah.
“Naruhodo” gumam pria lainya.
“Apa yang membuatmu datang kemari?”
“Kerjasama” jawabnya memetik setangkai Krisan putih yang mekar sempurna.
“Kerjasama macam apa? Aku tidak tertarik denganmu?”
“Souka?” diciumnya bunga itu dengan senyum tersungging.

*****

“Apa yang membuatmu datang kemari?” tanya Aizen Sousuke tanpa mengalihkan pandangannya dari file didepan mata.
“Apa bisa aku membuat janji untuk wawancara ekslusif?”
“Tanya saja di bagian resepsionist”
“Tapi kami akan mewawancarai anda sebagai narasumber atas kasus penemuan mayat di sungai Karasu”
“Aku sibuk”
“Sebentar saja”
“Tidak bisa”
“Bagaiman kalau sekarang” ucapnya memabuka lembar pertanyaan. “Apakaha identitas korban di sungai Karasu sudah diketahui?”
Tidak ada jawaban.
“Aizen keibu”
“Apa?” ditatapnya wanita yang duduk dihadapannya. Wajahnya sudah berubah, tidak lagi terkesan ramah seperti sedia kala. Ada sebercak kekesalan bercampur kemaran dalam keangkuhan yang misterius.
“Bisa wawancara?”
“Pergilah ke resepsionis dan buat janji” ucapnya menatap wanita itu tajam.
“Arigatougozaimashita”

Aihana Rekka meninggalkan kantor inspektur itu. Ada kekesalan dalam dadanya. Kenapa dia begitu sulit. Tapi salahanya juga sih, datang tanpa membuat janji.

“Aku Aihana Rekka, wartawan TV X. Apa bisa aku membuat janji dengan Inspektur Aizen untuk wawancara?”
“Silahkan tunggu sebentar”

*****

“Aihana Rekka” panggil sebuah suara yang terdengar manis dari seorang pria yang duduk ditaman.
“Dare? Kuran Rido ka?” gumamnya terkejut.

Pria itu duduk menyilangkan kakinya di sebuah bangku di bawah pohon. Sekaleng bir menemaninya. Kulitnya bersinar karena pantulan cahaya bulan. Mata sayu dengan biji amber yang menarik dan bibir merah menggoda namun terlihat maskulin. Seperti tokoh komik yang dihidupkan.

“Kenapa mukamu begitu? Memangnya aku ini setan?”
“Ya” gumamnya tanpa sadar. “Sejak kapan kau...”
“Aku melihatmu jadi aku duduk disini saja” jawabnya dengan sebuah senyuman hangat.
“Maksudku kapan kau kembali ke Jepang?”

“Kenapa? Kau penasaran ya?” ditariknya lengan Aihana Rekka hingga duduk disampingnya. “Aku baru tiba, lalu mengunjungi teman disekitar sini dan bertemu denganmu” diliriknya wanita itu, membuatnya bergetar. Namun wajah jutek yang diperlihatkannya.

“Kenapa kau kembali?”
“Kau tidak rindu padaku ya?”
“Memangnya sejak kapan aku merindukanmu” dia bangkit dari duduk hendak berlalu tapi tangannya kembali diraih oleh pria itu.

“Aku lapar, temani aku makan” ditariknya tangan itu dengan paksa, dan pemilik tangan pasrah saja. Mereka makan di sebuah restauran Italy disekitar situ. Restauran kecil tapi rasanya lumayan.

“Kudengar kau menjadi reporter di TV X, apa itu benar?”
“Kau dengar dari siapa?” tanyanya cuek dan menyuapkan pasta dihadapannya.
“Apa itu penting?”
“Tidak”
“Aku mendengarnya dari Eiko” jawabnya sambil mengiris daging steak.
“Oh” hanya itu yang keluar dari bibir tipisnya.
“Sebenarnya aku melihatmu di televisi. Apa kau masih melukis?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.
“Tidak”
“Kenapa? Lukisanmu kan bagus. Kenapa tidak membuka galeri saja”
“Kau berlebihan. Lukisanku tidak sebagus itu”
“Menurutku itu bagus”

Aihana Rekka berhenti merespon pertanyaan pria itu. “Hei, Rido. Kenapa kau tidak bersama Eiko?”

“Kenapa ya?” dia berpikir sesaat. Kelihat sekali kalau itu dibuat-buat. “Tidak saja”
“Oh”
“Sudah berakhir” diletakkannya garpu dan pisau, tiba-tiba selera makannya menguap.
“Apa?’
“Hubunganku dan Eiko sudah berakhir”
“Maaf”
“Bukan masalah. Itu sudah lama” lanjutnya menyesap wine tahun 92. “Kau masih mabuk?” tanyanya sambil menyodorkan gelas wine.
“Ah, tidak. Siapa bilang” ditegaknya wine dalam gelas hingga tinggal setengah. Rasanya tenggorokkannya agak perih, meskipun wine itu harum dengan perpaduan rasa manis, asam dan sedikit sepat.


*****

Siang yang terik untuk melakukan sebuah penyelidikan. Dengan menahan panas dari sengatan matahari dan mantel yang dikenakannya Aizen Sousuke memarkir mobilnya di kawasan Karakurahounco sambil menikmati AC mobil yang membantu. Satu jam telah berlalu dan belum ada tanda-tanda yang mencurigakan.

Tiba-tiba saja bibirnya membentuk segaris senyum. Dia memandang seorang wanita yang baru saja melewati mobilnya dan duduk di bangku, di bawah sebuah pohon ginko. Rambut di jepit, kemeja tanpa lengan dan celana denim tiga per empat. Sebuah earphone terpasang di telinganya. Wanita itu sendirian, membaca sebuah buku karya Lisa Jackson berjudul Lost Soul. Ya, dia juga sudah membacanya tapi tidak puas. Terlalu banyak roman picisan.

Tanpa sadar dia terus mengamati. Helaian rambutnya yang tertiup angin. Ekspresinya yang serius tapi beberapa saat kemudian matanya mulai menyipit. Ini bukan kali pertama Aizen menangkap gadis itu sendirian. Biasanya seorang perempuan memiliki teman dekat, tapi tidak ada tanda-tanda seperti itu pada dirinya. Dia sendirian. Dan mungkin kesepian. Terlihat jelas dari tatapan matanya saat memandang sepasang kekasih yang bersendau gurau tak jau dari bangku tempat duduknya.

Wanita itu bangkit dari duduknya, beranjak pergi. Namun kakinya ternatuk tanah yang tidak rata. Tubuhnya hampir saja terjerembab tapi kembali mendapatkan keseimbangan. Responnya cukup bagus. Dia berhenti sejenak dan kembali berjalan meninggalkan taman menuju halte di seberang jalan.

Dia benar-benar sendirian. Bahkan saat hampir jatuh pun tidak ada yang memegang tangannya. Membuat respon tubuhnya meningkat. Bukan sesuatu yang terbentuk dalam hitungan hari. Kesendirian. Itu hal yang sama yang dia alami. Sesuatu yang menjadi biasa hingga tidak mampu merasakannya. Sesuatu yang sebenarnya menyakitkan.

****

“Hai” ucapnya dengan senyum cerah cemerlang.
“Mau apa lagi?”

“Kau ini, kenapa selalu begitu setiap bertemu denganku” gerutunya. “Apa tidak bisa bilang, Rido san senang sekali kau datang berkunjung. Atau Rido, aku rindu padamu” ucapnya bergaya lebai ala aktor opera sabun.

“Rido san” ucapnya dengan senyum yang luar biasa manis tapi berbahaya. “Bisa minggir? Kau menghalangi jalanku”
“Rekka, chotto matte” diikutinya langkah wanita itu meninggalkan apartemen. “Kau mau kemana? Kenapa terburu-buru?”
“Aku harus segera ke kantor polisi”
“Tu... Tunggu.... Kau tidak berniat melaporkanku kan?” tanyanya panik mengikuti langkah Rekka yang dipercepat.
“Aku pikir begitu”

“Kau serius?” Kuran Rido bersweatdrop ria, membayangkan diri terkurung di bui.
“Aku ada wawancara dengan seorang inspektur” dihentikan langkahnya saat pria itu berdiri dihadapannya.
“Aku antar”
“Tidak perlu”

“Kenapa kau selalu menolakku?” ditatapnya mata wanita itu. “Kenapa?” ditariknya lengan Aihana Rekka hingga merapat ketubuhnya. Membuat jantungnya berdebar kencang.
Haruskan? Haruskah terjadi lagi? Hal yang tidak pernah diinginkannya. Atau tidak secara langsung.

“Apa kekuranganku?” bisiknya. Suaranya yang lembut hampir membuatnya tenggelam.
“Lepaskan” ucapnya sedatar mungkin. Menyembuntikan luapan emosi dalam dirinya.

“Tidak mau” dikecupnya pipi Aihana Rekka yang memerah, membuatnya tersenyum senang. Mudah sekali membuatnya seperti itu. Sama seklai tidak berubah. Dia yang selalu judes dan keras kepala tapi dia juga manis dan menarik. Sekali dulu pernah dalam pelukannya meskipun sesaat. Dan sekarang ingin mengulang kembali manis sesaat itu.

“Kuran Rido, lepaskan aku” pintanya lebih lantang.
“Kita ulang lagi kenangan manis itu” bisiknya. Membuat mata wanita itu terbelalak. Tubuhnya mulai gemetar. Tidak mampu menahan luapan emosi dalam dirinya. Perasaan sakit dan bersalah menutupi matanya menciptakan genangan basah.

“Kau kenapa? Hmmm........Rekka chan” gumamnya saat bibir itu menyentuh leher Rekka. Dia ingin berteriak tapi tenggorokannya sakit. Dia ingin lepas tapi tubuhnya kaku.

“Rekka?” Hisagi Shuuhei muncul dengan motor modivikasinya. “Kuran Rido” gumamnya terkejut atas kehadiran pria itu.

Ditatapnya pria lain di atas sepeda motor dengan tatapan tajam. “Huh” dilepaskannya tubuh itu dari rengkuhannya. “Ja ne...” ucapnya dengan senyum menyeringai.
“Rekka, daijobu?” ditepukkanya pundak Aihan Rekka, namun dihindarinya sentuhan itu. Tubuhnya lemas dan gemetar. “Kenapa Kuran Rido ada disini?”

“Shuuhei” gumamnya setengah sadar. “Wawancara” ditatapnya mata pria itu.
“Tapi kau...”

****

“Kirei” seorang pemuda mengamati sebuah lukisan di ruang seni lukis. Seekor kupu kupu dan bunga peoni yang sedang mekar penuh.

“Arigatou” jawab sang pelukis. Seorang gadis dengan rambut panjang yang diikat ekor kuda. Matanya bulat dengan wajah kekanakan. Wajahnya serius saat menyapukan warna-warna di kanvas.

“Ara, Rekka pipimu” dia menyentuh pipi kirinya menandakan ada sesuatu di pipi gadis itu.
“Apa?” diusapnya pipinya, namun tidak ada apa pun.

“Disini” diusapnya cat yang mengotori pipi kanan gadis itu. Tangan yang besar. Tangan yang hangat. Meyentuh pipinya dengan lembut. Mata ambernya menatap matanya dalam. Ada sebuah kekaguman dimata itu. Sosok senior yang menawan.
“Kuran senpai” panggilnya mengembalikan ke dunia nyata.
“Ah, goemen”
“Daijoubu”
“Kau tidak bisa memanggil namaku saja ya? Seperti yang lain”
“Kuran senpai?”
“Rido”
“Rido senpai” sebuah senyum menghiasi bibirnya yang manis.
Lukisan yang indah. Warna-warna cerah pun tertoreh di kavas, secerah suasana hatinya sore itu.

*****
“Hitori de?”
“Hai” jawabnya tanpa menoleh. Berkonsentrasi pada lukisan terbarunya. Sebuah bunga mawar putih.
“Shiroi bara. Aku suka”
“Hontou ni?” tanyanya penasaran. Dibalik sikapnya yang acuh, Aihana Rekka akan bersemangat pada apa yang disukainya. Salah satunya adalah bunga.

“Iya. Di rumah ibuku punya banyak rumpun mawar. Ada mawar merah, mawar sonya, dan banyak yang tidak aku ketahui. Tapi mawar putih yang paling cantik”
“Souka. Kau menyukai warna putih kan”
“Wah, kau masih ingat” ucapnya diantara tawa riang. “Nee, kau suka warna apa?”
“Aku?” dia berpikir sesaat. Hampir semua warna dia sukai, kecuali merah. Entah kenapa dengan warna itu, dia juga tidak tahu. “Mungkin, aku juga menyukai warna putih”

“Makanya kau pakai ini ya” ditariknya pita putih yang mengikat rambutnya, membuat rambut panjang itu tergerai. Rambut yang lembut dan harum. Dibelainya rambut panjang itu lalu diciumnya. “Harum bunga”

“Hei, lepaskan” pintanya menarik kembali pita itu dari tangan Rido dan mengikatnya asal.
“Boku no koibito” ditatapnya mata Rekka dalam. Menyisakan kegundahan.
“Apa?”

“Boku” dikecupnya pipi yang memerah. Membuatnya tersentak. Digenggamnya tanga gadis itu dan menariknya dalam pelukan. Sebuah ciuman dihantarkannya. Sesuatu yang terjadi begitu saja. Sesuatu yang tidak pernah diinginkannya secara langsung.

“Bokutachi no himitsu” bisiknya ditelinga gadis dalam erat dekapannya. “Boku no Rekka”

****

“Naze?” tanyanya singkat. Dipulaskannya warna merah pada kanvas. Ruangan itu minim cahaya. Beruntung, bulan bersinar terang menerobos jendela yang terbuka. Titi-titik air berjatuhan dari matanya. Aneh sekali. Kenap dai menangis.

“Daikirai” disapukannya warna hitam diantara warna merah. Membentuk guratan-guratan malam.

Mungkin hatinya sedang hancur. Tapi kenapa hncur. Hubungan itu, sesuatu yang tidak pernah diinginkannya. Kecupan itu bukan sesuatu yang dipaksa. Meskipun tidak menginginkannya tapi tubuhnya tidak bisa menolak. Sentuhan itu. Mungkin dia memang sudah gila.

Ya. Dia sudah gila. Sejak menanggapi semua perkataan Kuran Rido. Awalnya memang menarik. Tapi, bukan itu sosok yang di impikannya. Bersamnya memang menyenangkan tapi bukan itu caranya.

“Akai tsuki” gumamnya menatap lukisn di depan mata. Lingkaran merah diantara kegelapan hitam. Kuasnya pun jatuh ke lantai. Membuat keramik putih itu ternoda cat merah. Warna serupa darah yang pernah sekali mentes disana. Darahnya. Lukanya. Sakitnya.

****

“Aizen keibu, gomene” ucapnya saat inspektur itu memasuki ruangan yang biasa dipakai untuk rapat. “Bisa kita mulai wawancaranya?”
“Karena aku harus pergi ke kantor pusat, jadi Ichimaru Gin yang akan menggantikanku”
“Yoroshiku” ucapnya dengan senyuman khas.

“Demo...” gumamnya lirih. Dia tetap saja tidak bisa mendengar jawaban langsung dari mulut inspektur itu. “Hai” ucapnya kemudian. Dan wawancara pun berlangsung. Reporter Aihana Rekka bersama kameraman Hisagi Shuuhei mewawancarai Inspektur Ichimaru Gin.