Kamis, 30 Agustus 2012

Arigatou

Desclaimer    : Bleach by Kubo Tite
Rate              : Indonesian.
Type              : OOC/AU
Genre            : Romance/Gaje/Mystypo/Stress
Pairing        :Aizen Sousuke-Aihana Rekka

Arigatou

“Café wo ikimasenka?” tanyanya saat mendapati sang istri sedang membaca buku sambil tiduran di lantai, di ruangan favorit mereka. Dimana rak-rak buku berjajar dan akses cahaya matahari cukup.
“Ie, yasumimasu” jawabnya tanpa menggeser mata dari novelnya. Tangannya pun menarik coklat stik dan menggigitnya. “Anata, isogashi ka?” tanyanya saat Aizen bolak bali kesana ke mari di waktu seharusnya dia masih di kantor.
“Amari” ucapnya membongkar lemari.
“Kau sedang mencari apa?”
“Blue print denah final treasure” ucapnya sambil mengeluarkan kertas-kertas peliharaannya. “Apa kau lihat?”
“Um?” ditatapnya tumpukan kertas itu. “Yang seperti apa?”
“Yang ada di map biru. Sekitar delapan atau sepuluh lembar. Sepertinya aku meletakannya di sini?”
“Ada banyak map yang seperti itu” jawabnya memilah map yang ada. “Ada yang sudah aku pindah ke gudang” jawabnya enteng.
“Nan ni?” ditatapnya sang istri dengan wajah terkejut. Segera dia berlari di gudang di belakang bagunan. Diamana barang, karrdus, kursi yang belum terpakai dan yang tidak terpkai menjadi satu. Ditatapnya punggung sang suami yang sedang mencari map yang dimaksud di antara tumpukan kardus. Rasa bersalah menggelayuti hatinya.
 “Ne, Ka chan, lain kali bertanyalah saat kau membereskan rumah”
“Ah, hai. Gomene Ai san” ucapnya tertunduk.
“Daijoubu” dicubitnya pipi sang istri sebelum berlalu. Meninggalkannya dengan sebuah perasaan yang disebut pilu. Ada genangan hangat dimatanya namun segera di hapus dan mengejar sosok suaminya.
“Itterasai” ucapnya melambaikan tangan saat mobil itu bergerak perlahan.

****

Suaminya telah pergi. Di tatapnya foto pernikahan yang lewat satu tahun, lebih tepatnya limabelas bulan tiga hari. Foto itu sungguh indah. Dirinya tersenyum bahagia. Ya. Sebuah pernikahan bagi seorang wanita adalah salah satu kebahagiaan terbesar dalam hidupnya setelah upacara kedewasaan dan sebelum menjadi seorang ibu. Gaun putih dengan aksen merah yang dirancang sendiri. Buket bunga mawar, lily dan zuzuran yang terpelihara baik di halaman rumahnya. Serta cincin berlian mungil yang tersemat di jari manisnya. Cincin yang diberikan Aizen Sousuke saat melamarnya di bulan Mei. Masih segar dalam memorinya.

****

“Omedeto” ucapnya meletakkan sebuah kue tar dengan lilin-lilin dan kepingan coklat. Dia tahu Aizen tidak terlalu suka manis, tapi sesekali memakannya tidak masalah bukan.
“Wah, kau yang membuatnya?” tanyanya tersenyum jahil.
“Tentu saja tidak. Mana bisa aku membuat yang beginian” jawabnya sambil memonyongkan bibir.
“Mana ada kue hancur yang di jual di toko?” tanyanya minta kepastian pada kue yang tidak bisa di bilang cantik itu. Cream yang belepotan. Keeping cokelat tidak beraturan dan bentuknya yang sulit diadefinisikan sebagai bulat, kotak atau lonjong.
“Urusai”
“Ah, karena sudah di buat jadi, itadakimasu” disendoknya kue dengan cream dan langsung dilahapnya.
“Eee…tiup lilin dulu?” ditariknya tangan yang memegang sendok.
“Aku bukan anak kecil lagi” pintanya dengan wajah memelas.
“Tidak. Berdoa lalu tiup lilinnya”
“Ssssssss…..” desahnya tapi memejamkan mata dan meniup lilin itu juga.
“Otanjoubi” sebuah ciuman pun mendarat di pipinya. Membuatnya bersemu merah untuk sesaat.
“Aku mau hadiah” pintanya sambil terus menyendok kue yang tidak terlalu manis meskipun ada krim diatasnya. Ternyata isi dalamnya adalah pure buah yang segar. Campuran dari buah berry dan orange dengan mint. Tipe kue kesukaannya.
“Ummm….aku sudah ada. Semoga kau suka” diambilnya kotak dari dalam tasnya. Sebuah kotak dengan bungkus coklat sederhana.
“Apa ini” dibukanya kotak yang berisi sebuah jama tangan. Jam yang sederhana. Tidak mewah tapi berkesan elegan. Desain jam tipe skeleton denga tali kulit merah maroon. Sangat cocok untuk dirinya yang mneginjak usia matang. (tidak mau di sebut tua). “Kono tokei wa ii desu” senyumnya mengembang menatap mata berbinar wanita itu. Dia, bagaimana pun dirinya, ketika tersenyum bagaikan bidadari.
“Yokatta. Aku khawatir kalau kau tidak menyukainya” diusapnya dada tanda lega. Dia telah mencari jam atau benda yang cocok sejak satu bulan yang lalau. Setiap toko dan setiap departementstore di kunjunginya. Akhirnya di tempat terakhir dia temukan jam yang memiliki karakter untuk kekasihnya. Sederhana, berkharisma, elegan, egois, berharaga diri tinggi tapi memiliki aksen lembut dan sedikit melankolis.
“Aku boleh meminta hadiah yang lain?” tanyanya tiba-tiba dengan sebuah senyum simpul.
“Eh, apa?”
“Aku ingin dirimu” dipeluknya tubuh wanita itu.
“Gyaa.. Ai, jangan. Jangan sekarang” teriaknya gugup.
“Kau masih menolakku? Mau sampai kapan hubungan kita seperti ini?” tanyanya dengan wajah serius senyum setengah menggoda setengah mengancam.
“Ah, a…aku belum siap” ucapnya menundukkan wajah.
“Aku akan menunggumu sampai kau siap” ditatapnya wanita yang masih menunduk. Tidak berani menatap wajah kekasihnya. “Tapi, paling tidak biarkan aku mengatakannya” ucapnya mengangkat dagu Rekka dan menatap dalam mata gelapnya. “Apa kau mau menikah denganku?” ucapnya dalam bergetar.
“Ai?” mata gelap itu membulat. Tidak percaya pada pendengarannya. Rasanya seperti disengat stunt gun ratusan volt. Jantungnya seakan melompat dari dada.

****

“Ohayou” bisiknya pada sang suami yang masih memejamkan mata. Alis mata yang sempurna. Bulu mata yang lentik panjang. Tulang rahang yang tegas. “Ai san” dikecupnya leher pria itu.
“Ngh…” mata itu terbuka perlahan. Seperti sebuah nyala yang muncul dalam kegelapan. Mata coklat terang yang selalu menyimpan misteri.
“Sudah jam enam. Aku siapkan sarapan” Rekka pun melangkah meninggalkan ruangan itu.
Nasi telah masak. Sup tofu telah siap. Karage ayam dan tempura sayur juga telah terhidang. Tidak lupa secangkir teh krisan yang beraroma manis.
“Hari ini, aku ada pertemuan dengan investor jadi pulang terlambat” ucapnya sebelum menyesap the krisan yang terhidang. “Kau tidak perlu menungguku”
“Hai, wakarimashita” jawabnya yang juga menuangkan teh tanpa gula untuk diri sendiri. Ditatapnya sang suami yang sedang makan. Tidak ada kata yang keluar dari bibirnya.
Ai san, nande? Anata no kotoba. Anata no me wa?
“Nan ni?” dilihatnya Rekka yang memperhatikannya sedari tadi.
“Ie, nandemonai” jawabnya yang menyuapkan nasi ke mulut.

***

“Itterashai” ucapnya sebelum turun dari SUV hitam itu. Dan seperti biasa sebuah ciuman selalu menyertai. Hari ini ditambah dengan sebuah pelukan yang sedikit lama.
“Hari ini kau kenapa?” dicubitnya pipi Rekka lembut. Tangan yang besar dan hangat itu begitu merindukan tapi kenapa hatinya masih saja gundah.
“Ie” diberikannya sebuah senyum yang manis, meskipun agak memaksa.
Hari itu pun café tidak begitu ramai. Rekka pun memiliki waktu senggang lebih banyak. Tapi selama merapikan buku-buku dan membaca beberapa halaman novel karya Dan Brown tidak juga membuatnya lebih baik. Seolah semakin parah sakitnya.
Sepulangnya, Rekka berjalan pelan menuju stasiun. Berhenti sebentar di etalase took bunga dan took pakaian. Tidak ada yang membuatnya tertarik. Kakinya melangkah pada sebuah bistro terbuka.
“Vanilla latte” pesannya.
Dia pun duduk di bangku taman. Mengatur nafasnya yang sesak. Lalu menyesap hangat vanilla latte. Mungkin menjadi lebih baik. Kembali dai bertanya, mengapa hatinya begitu sensitive? Bukankah Aizen tidak melakukan apa pun. Dia yang memindahkan barang-barang itu tanpa bertanya lebih dulu. Dia yang berbuat salah. Tapi mengapa dia yang terluka.

****

Jarum jam bergeraka ke angka sepuluh. Meskipun jalanan masih saja ramai tapi kompleks itu sebaliknya. Jalannya telah sepi. Hanya seorang polisi yang berpatroli dengan sepeda anginnya. Sebuah SUV hitam melintas dan berbelok ke sebuah rumah. Tidak begitu besar. Halaman yang dipasang bata sebagai tempat parkir dan masih ada halaman hijau seluas 3x8 yang memanjang berbentuk L. Ditumbuhi oleh rumput dan tanaman rambat.
Dibukanya pintu samping yang ternyata tidak terkunci. Segera dilepasnya sepatu sebelum menginjak lantai kayu agar tidak mengeluarkan suara berderak. Dia terus berjalan menuju tangga langkahnya terhenti sesaat. Diamatinya ruang di sebelah yang terbuka. Hanya ada satu sofa dan satu meja serta beberapa rak penuh buku dengan karpet sebagai alasnya.
“Ka chan, kenapa masih menungguku” dibelainya pipi wanita yang tertidur di sofa. Novel yang semula dibacanya telah tergeletak di lantai. Di amatinya wajah sang istri. Dia cantik. Atau menurutnya begitu. Tapi banyak yang lebih cantik. Hanya saja, dia special. Mata bulat miliknya. Bulu mata pendeknya. Kata-kata halus menusuk dari bibirnya yang selembut kelopak. Dan tatapannya yang masih saja kosong. Selalu ada yang membuatnya tertarik pada sosok dihadapan itu. Seperti ada benang gaib yang menghubungkan mereka.
“Ka chan, Arigatou” dikecupnya pipi wanita itu.
“Ai san” kelopak itu mulai terbuka. “Ugh, sudah pulang? Okaeri” ucapnya sambil mengucek mata.
“Tadaima” ucapnya dengan sebuah senyum.
 “Kau sudah makan?”
“Ie” ucapnya menggelengkan kepala. Sebenarnya dia sudah makan tapi…
“Aku tadi membuat sup ikan dan tofu. Aku juga menambahkan rempah-rempah agar kau tidak sakit. Akhir-akhir ini kau bekerja sangat keras” ucapnya yang ngloyor ke dapur dan memanaskan sup tersebut. Sedangkan Aizen Sousuke duduk manis di kursinya sambil menatap sang istri.
“Douzo” diletakkannya semangkuk sup dihadapannya. “Mau pakai nasi?” tanyanya yang dijawab dengan anggukan.
“Kau tidak makan?”
“iya”
“Makanlah bersamaku”Aizen menyuapkan sepotong ikan di hadapannya. “Kau juga jangan sampai sakit”
Rekka pun melahap potongan ikan itu. “Ai san, gomene” ucapnya dengan teetsan air mata. Rasa sakit dihatinya seolah ikut keluar.
“Daijoubu” dipeluknya wanita itu.
Ya, dada bidangnya selalu menjadi tempatnya bersandar. Kala senang. Kala susah. Semua yang dia rasakan. Aizen telah menjadi langit dan kastil untuknya.
“Gomene” ucapnya sekali lagi.
“Jangan menangis lagi. Kau membuatku merasa berdosa karena tidak bisa menpati janji pada Kaa san dan Tou san” dihapusnya buli-bulir dipipi yang menghangat. Sebuah anggukan pun menyertai.

****

“Akhir-akhir ini aku sibuk sekali ya?” ditatapnya langit cerah berbintang. “Sampai-sampai tidak ada waktu bersamamu” diletakkanya cangkir teh di lantai kayu beranda.
“Ie, Ai san sudah bekerja keras. Itu juga untukku kan?” ditatapnya sosok itu. Sosok yang selalu mengisi kekosong ruang hatinya.
“Arigatou, Rekka” ucapnya yang menggenggam tangan kanan Rekka yang duduk di sampingnya sebelum kata itu sempat keluar dari bibir wanita itu. Rekka hanya mampu menatap sosok itu dengan binar bahagia yang menghangatkan hatinya. Begitu juga dengan Aizen. Menggenggam tangan itu untuk kesekian kalinya bagaikan yang pertama. Seseorang yang berharga dalam hidupnya, selain game.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar