Minggu, 08 November 2009

Winter's Love

Dia menatapku, lama. Membuatku merasa tidak nyaman di perhatikan seperti itu. Sesaat kemudia dia memegang keningku tiba-tiba. Membuatku tersentak.
“a..apa” kucondongkan tubuhku kebelakang.
“kau demam, aku antar kau pulang” katanya sembari mematikan puntung rokok yang terselip di jarinya pada asbak di ujung ruangan. Aku masih duduk terpaku menatapnya, bingung. Kenapa tiba-tiba dia mau mengantarku pulang. Tidak biasanya.
“kenapa?” katanya memandangku tajam. Tatapan orang ini benar-benar mengerikan, aku tidak sanggup untuk beradu pandang dengannya, segera ku palingkan pandanganku pada tumpukan naskah di atas meja kerjaku.
“aku bisa pulang sendiri, setelah pekerjaanku selesai”. Tiba-tiba dia menarik lenganku dengan paksa dan membawaku keluar ruangan.
“hei, mau apa kau” aku berusaha lepas dari cengkramannya.
“aku tidak mau karyawanku bekerja saat sakit, hasilnya tidak akan bagus. Jadi pulang dan istirahatlah” katanya melepaskan cengkramannya dari lenganku.
Aku tertegun mendengar pernyataannya. “tidak perlu mengantarku, aku bisa pulang sendiri”
“ini sudah larut” katanya bersamaan dengan terdengarnya dentangan jam menara sebanyak sebelas kali.
Aku berjalan di sampingnya. Jalan menuju stasiun yang kami lewati sangat sunyi. Hanya ada sebuah warung ramen dengan seorang pengunjung yang sudah mabuk. Udara malam ini terasa lebih dingin dari biasanya padahal aku sudah memakai jaket.
“hatchi…hatchi…hatchi” udara dingin membuat hidungku terasa gatal dan tidak nyaman. Segera kuambil sebuah sapu tangan dari tas untuk menutup hidung.
“pakai ini” katanya melepas jas yang dipakainya lalu memakaikannya di pundakku.
“terimakasih” namun dia hanya diam. Kulihat dia mengambil sebatang rokok dari kotak yang ada di sakunya, menyulutnya degan segera, lalu menghisapnya dalam-dalam dan menghembuskan asap yang mengepul di udara. Asap itu terus berputar semakin tinggi kemudian memudar dan menghilang. Dia, entah sudah berapa batang rokok yang dia hisap hari ini.

ù
“rokok ini seperti candu bagiku, tidak mengurangi beban tapi sulit melepaskannya” katanya mempermainkan gelas sake yang setengah kosong.
“tapi kesehatanmu? Kenapa menyiksa diri?” entah kenapa tiba-tiba aku menjadi khawatir pada keadaannya. Sebenarnya orang ini tidak sedingin yang di ceritakan oleh teman-teman. Justru terlihat rapuh. Dia tersenyum sambil memandangku. Sebuah senyuman yang manis, mata coklatnya yang jernih berkilat ditimpa cahaya temaram lampu kedai.
“kenapa berwajah begitu?” katanya sambil membelai pipiku dengan jemarinya. Hangat. Rasanya wajahku menjadi panas.
“lihat dirimu, kenapa wajahmu memerah? Kau mabuk ya?” Tanya nya menatapku lalu mengenakan kembali jas yang di lepasnya saat tiba di kedai.
“ah tidak, aku… tidak minum alcohol” ucapku berusaha mengontrol amosi.
“ayo hime, aku antar kau pulang. Kau benar-benar seperti tuan putri ya?” katanya menatapku, lekat. Matanya terlihat indah saat kaca mata itu ditanggalkannya. Aku tidak pernah menyadari ini sebelumnya. Dia mempesona. Pantas bila di juluki pangeran es.
“Hmm. Pak Aizen tolong jangan memanggil ku hime, rasanya aneh” aku tidak suka disebut hime, itu hanya lelucon teman-teman di kantor.
”kalau begitu jangan memanggilku pak Aizen”
”a..apa?”
“kau serius sekali” katanya sambil tertawa dan segera berjalan ke luar kedai. Ternyata dia hanya menggodaku. Menyebalkan. Aku pun segera mengikutinya meninggalkan kedai.

ù
Bunga ume telah bermekaran tanda musim semi telah tiba dan udara mulai mengahangat, disusul dengan bunga persik dan bunga sakura yang selalu dinantikan kehadirannya. Bunga berwarna merah muda pucat yang mengagumkan. Bunga sakura dengan filosofinya sendiri. Menggambarkan kehidupan dunia yang singkat, sehingga harus dihargai.
Ku pakai sebuah kimono sederhana berwarna turquoise dengan motif bunga sakura berwarna merah muda yang mengabang di atas air. Aku mengepang rambutku dan ku buat sanggul dengan hiasan rambut mutiara. Hari ini hari perayaan o-hanami. Aku sudah berdoa di kuil pagi tadi mengharap yang terbaik untuk tahun ini. Terbaik bagiku, bagi keluargaku, pekerjaan ku dan cinta, tentu saja. Aku segera menuju kantor dengan membawa beberapa kotak makanan untuk perayaan nanti.
ù
“wahh, enak sekali minum sake di bawah phon sakura seperti ini” kata Kunimoto yang menuangkan sake ke cangkirnya, ini adalah botol sake ke lima yang diminumnya.
“kau benar sekali kunimoto” kata pak Haneda menyetujuinya. Aku pun membuka kotak makanan yang kubawa dari rumah. Kue mochi, sushi ikan dan telur, rolade, cup cake, pudding dan jus buah.
“Aihana, kau yang membuatnya?” Tanya Sakuragi yang duduk di samping pak Haneda.
“iya”
“aku coba ya” kata Sakuragi yang segera mengambil sebuah cup cake dengan toping kismis diikuti Matsutani, Kunimoto, pak Haneda yang mengambil sepotong pudding dan rolade.
“wah, masakanmu enak sekali. Pasti senang kalau punya istri seperti mu” kata pak Haneda. Aku tahu dia menggodaku, jadi aku hanya tersenyum padanya. Pak Haneda ini sudah beristri dan memiliki dua orang anak perempuan. Naomi yang beusia tujuh tahun dan Ayumi yang berusia dua tahun.
Aku baru menyadari kalau Aizen sejak tadi memperhatikanku, dia hanya diam sambil minum sake dari cangkir yang ada di tangannya. Entah sejak kapan di ada di sana.
“pak Aizen, silahkan” ku berikan sebuah kotak bento padanya. Aku berharap dia mau menerimanya. Isinya tidak jauh berbeda dari bekal makan siang yang waktu itu.
“terimakasih” diamenerimanya kotak bento itu. Aku senang saat dia menerima kotak itu dengan senang hati.
“ada apa ini, Hime? Pak Aizen” Tanya Kunimoto yang ternyata memperhatikan kami sejak tadi, tidak hanya kunimoto tapi hampir semua yang duduk bersama kami.
“Kalian seperi sepasang kekasih saja” tambah pak Haneda. Aduh, kenapa jadi begini? Bagaimana cara menjelaskannya? Antara aku dan Aizen kan tidak ada hubungan apa-apa. Aku tidak berani memandang mereka dalam keadaan terjepit ini. Tiba-tiba Aizen merangkulku dan menyandarkan kepalaku di dadanya, aku tidak sempat mengelak.
“kami memang kekasih, iya kan Aihana?” tanyanya menatapku. Aku menjadi salah tingkah sendiri, apa yang harus aku ucapkan kenyataannya kan tidak begitu.
“bu..bukan. bukan begitu…” aku berusaha menjelaskan pada semuanya setelah berhasil lepas dari tanngan Aizen. Tapi sepertinya tidak ada yang mendengarkan.
“baiklah, sudah di putuskan pasangan musim semi ini adalah Pak Aizen dan Aihana” kata Pak Haneda yang diikuti sorakan karyawan yang ikut tanda mereka setuju.
‘cocok sekali kan, sama-sama Ai-cinta kan!” tambah Kunimoto.
“jangan memutuskan seenaknya, apa maksudnya….” Tapi percuma tidak di hiraukan. Kenapa aku ini? Kenapa nasib ku seperti ini. Aku seperi angin yang lewat begitu saja tidak dihiraukan sama sekali. Aku segera bangkit dan meninggalkan mereka dengan persaan sedikit kesal.
“lama sekali, aku sudah menunggumu sejak tadi” aku segera menoleh ke arah suara itu. Dia bediri di bawah pohon Fuji yang sedang berbunga. Tangkai bunganya menjuntai seperti tirai yang tergantung di kamar seorang putri, cantik. Kelopaknya berguguran tertiup angin seperti sekelompok kupu-kupu yang berhamburan ke segala arah. Sebagian mendarat di air kolam yang mengalir lamban, membuat riak halus di atasnya dan sebagian lagi entah terbang kemana. Mungkin hinggap di tubuh seseorang atau terkulai di tanah.
“Pak Aizen” aku berjalan menghampirinya yang tidak beranjak dari bawah dahan pohon Fuji.
“mau menemaniku jalan-jalan sebentar?” katanya beranjak kembali menuju jalan setapak yang ada di taman. Aku mengangguk dan berjalan di sampingnya. Kami pun berjalan menelusuru jalan setapak. Tapi jalan ini menuju tempat parkir, kenapa? Apa ada yang ketinggalan.
“ayo“ dia mengendarai sebuah sepeda motor. Seperti sepeda motor pembalap. Bagaimana bias? Aku hanya menatapnya heran. Kalau begini susah juga.
“kau tidak pernah naik sepeda motor?”tanyanya sambil menarik tangaku mendekat.
“e…pernah tapi tidak begini” kupandangi kimono yang melekat di tubuhku.
“naik saja” aku segera naik. Sebentar saja sepeda motor itu telah melaju kencang menjauhi taman. Sedikit tidak nyaman, mau tidak mau aku berpegangan pada pinggangnya. Sekitar sepuluh menit kemudian sepeda motor berhenti aku segera turun dan merapikan pakaianku yang di acak-acak oleh angin. Kuil, apa dia ingin aku menemaninya berdoa disini? Tempat ini indah, seperti kebanyakan kuil Shinto, ada banyak tangga menuju kesana setelah melewati torii. Hanya ada kebisuan dia antara kami dalam perjalanan menuju altar. Kumasukkan uang persembahan, menarik lonceng dan menepuk tangan tiga kali lalu berdoa. Aku berdoa untuk kebaikan Aizen, dan doanya terkabul.
“serius sekali, meminta apa pada dewa?”
“itu rahasia” kataku berjalan di sampingnyaa. Dia mengenakan jas hitam seperti biasanya, kacamatany baru saja dia tanggalkan. Mata coklat itu terlihat semakin jernih, seperi dasar danau yang tertimpa sinar matahari yang lembut.
“apa kau tahu kenapa aku membawamu kemari?”
aku menggelengkan kepala. “tidak” kataku berhenti.
“ini kencan”
“ke..kencan?”
“iya, kita kan kekasih jadi aku ingin berkencan denganmu” katanya menatapku lalu mengedipkan mata kirinya.
“pak Aizen. Jangan menggodaku seperti itu” kupukulkan tas yang kubawa ke punggungnya. Aku yang sudah kesal ini semakin di buat kesal. Kenapa sih mereka itu tidak pengertian?
“hei, hei, sakit. Hentikan ” katanya menggenggam lenganku, lalu di lepaskannya. Aku benar-benar kesal dibuatnya. Tapi kesal itu terobati karena dia membawaku pada sebuah pohon sakura yang sudah cukup tua. Batangnya besar dengan banyak cabang yang rendah dan penuh dengan bunga merah muda yang mekar sempurna. Kelopaknya berguguran tertiup angin, sepeti salju merah muda. Cantik sekali. Mengingatkan ku pada pohon sakura yang ada di rumah, mengingatkanku pada kakek. Kakek yang selalu marah bila aku tertidur di bawahnya.


ù
“waa….aah…!” sudah lama sekali aku tdak melihat laut. Langit yang biru, laut lepas, angin yang berhembus kencang dan camar yang beterbangan. Ku lepas sepatuku dan berlari di tepinya. Air laut yang dingin menyentuh kakiku. Saat berlari kakiku tersandung pasir aku jatuh diantara ombak, membuatku basah.
“hmhmhmhm” kulihat Pak Aizen membungkam mulutnya dengan tangan, dia menahan diri untuk tidak terawa. Aku menjadi heran, memangnya ada yang lucu. Menyebalkan.
“kenapa? Ada yang lucu?”
“ti…tidak” katanya sambil terus menahan tawa, membuatku kesal. Kupercikkan air laut ke arahnya membuat wajah dan sebagian bajunya basah. Seketika wajahnya berubah. Melihat perubahan ekspresinya yang begitu singkat terlihat lucu.
“hahahaaha….”sekarang aku yang tertawa. Dia membalasku, kami berkejaran di panatai. Hari mulai senja, matahari hampir terbenam, indah sekali.
ù

“ya, ke rumahmu? Sekarang?” kumatikan ponselku. Apa maunya Aizen itu? Memintaku mengantarkan naskah ke rumahnya sepagi ini, padahal ini masih jam tujuh pagi. Dalam hati aku menggerutu tapi aku berangkat ke rumah tempat tinggal nya. Tidak begitu besar, gayanya modern minimalis tapi rapi dan indah. Terlihat sangat simple.
Kuketuk pintu samping beberapa kali tapi tidak ada jawaban.”sepertinya tidak di kunci” kubuka kenop pitu ternyata benar, tidak di kunci. Ceroboh sekali dia.”pak, aku masuk ya” kataku memasuki rumahnya.
“reka, kau sudah sampai, masuklah aku ada di dalam” terdengar suara aizen dari dalam, namun ada yang janggal dengan suaranya, sedikit berbeda. Apa dia sedang sakit. Aku segera memasuki ruangan inti rumah itu.
“kau sedang sakit?”
“tidak apa-apa, aku baik-baik saja” katanya berusaha bangkit dari tempat tidurnya.
“jangan bangun dulu” aku mencegahnya dengan menggenggam lengannya agar tidak bangkit dan tetap tidur.
“kau memaksaku ya” dia menatapku, lama. Membuatku bingung untuk bersikap dihadapannya. Digenggamnya tanganku, seketika wajahku terasa panas.
“kalau begitu, jangan pergi dariku” ditariknya tubuhku dalam pelukannya, tiba-tiba tubuhku terasa semakin panas. Aku tidak bisa berbuat apa-apa.
“sebentar saja, tetap begini. Jangan pergi dariku” bisiknya. Aku bingung dengan pikiranku sendiri, dengan keadaan ini, dan dengan perasaanku. Kulihat dia telah tertidur. Kulepaskan diriku dari pelukannya dan kupakaikan selimut. Wajahnya tenang sekali, tidak terlihat keangkuhan dalam dirinya. Dia manis saat tidur. Kubelai wajah dan rambutnya. Suhu tubuhnya tinggi, dia pasti kelelahan.
Segera aku menuju dapur, kukira dia belum makan. Ternyata benar, tidak ada apa pun di dapurnya. Aku segera keluar untuk belanja di market yang tidak jauh dari rumahnya. Aku membeli beberapa sayuran, buah, ikan daging dan susu dan tofu kesukaannya.
“Aizen, pinjam dapurnya ya” kataku sambil memotong sayuran. “silahkan reka, masak yang enak ya” kataku menjawab pertanyaanku sendiri, konyol. Aku pun tertawa pada diri sendiri. Kubuatkan dia bubur beras dan sayuran rebus juga sup tofu ikan dan salad buah. Kutata semua makanan itu di meja makan, jika dia bangun nanti bisa langsung dimakan.
Kembali kutengok dia, ternyata masih terlelap. Aku tidak tega meninggalkannya seperti ini, rasanya ingin terus ada di sampingnya. Kubelai wajahnya dengan lembut, dan kukecup pipinya perlahan. Berharap dia tidak akan bangun dengan tiba-tiba. Segera kutinggalkan rumahnya menuju kantor.
ù
Baru saja aku sampai di kantor ponselku sudah berdering, panggilan dari Aizen. Dia sudah bangun, padahal baru aku tinggal sebentar.
“ya” kataku
“terimakasih, aku senang kau mau datang. Ditambah lagi kau meninggalkan makanan paling enak. Kau memang pantas menjadi seorang istri” kata suara di seberang sana. Ucapannya itu membuat jantungku seakan melompat dari tempatnya, menyisakan rona merah di pipiku. Kenapa dia berkata begitu, merayu?
“apa bapak sudah sehat?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“ya, kurasa. Jika kau bersedia datang lagi setelah jam kantor”
“tapi…” aku sedikit ragu, tapi sebenarnya aku senang juga. Tapi untuk apa?
“aku mengharapkan bantuanmu karena aku tidak bisa bekerja sendiri dengan kondisi tubuhku yang seperti ini”
Aku berpikir sejenak, teirngat akan tumpukan naskah di meja di samping ranjangnya, naskah bulan lalu yang belum tesentuh. “baik” kataku kemudian.
“aku menunggumu” katanya, lalu pembicaraan itu pun terputus.

ù
“hmm, kau sudah makan malam?” tanyaku padanya yang sedang membenahi program notebooknya.
“belum” katanya berhenti bekerja dan melihatku.”bisa tolong buatkan aku makan malam?” pintanya padaku seperti seorang anak yang minta dibelikan permen.
“ya, tunggu sebentar ya” kataku bangkit dan segera menuju dapur. Aku masak dari bahan yang aku beli tadi pagi. Setelah membuka beberapa lemari di dapur tenyata dia menyimpan mi instant. Jangan-jangan tiap hari dia makan mi instant. Aku membuat steak daging dengan sayuran panggang dan salad.
“makan malam sudah siap” kataku dari ruang makan yang berada di samping ruang tempat kami bekerja. Dia segera datang dan duduk di kursi. Aizen mengenakan t-shirt dan kemeja lengan pendek, bajunya tidak dikancingkan. Rambutnya disisir kebelakang seperti biasa, tanpa kacamata. Kalau berhadapan dengannya seperti ini, gunung es pun terlihat seperti danau yang jernih. Kami pun makan bersama, aku senang bila dia senang pada masakan yang aku buat. Bukan hanya dia, siapa pun yang memakan masakan ku jika dia merasa senang karenanya aku pun akan merasa senang karena telah membuat orang lain senang dengan makanan yag kubuat dengan tanganku sendiri.
Setelah makan malam dan membereskan dapur kami kembali bekerja tak lupa kubuatkan secangkir teh seduh untuknya. Berada di sisinya seperi ini saja aku sudah cukup senang. Tubuhku rasanya lelah sekali padahal jam baru menunjukkan pukul sepuluh, biasanya aku masih sibuk bekerja di rumah atau di kantor. Tapi kali ini seolah berton-ton beban menggelayutiku terutama mataku.
“kalau kau lelah, tidurlah dikamarku” katanya memandangku, apa yang dia lihat dari diriku? Sebuah pohon yang layu? Aku menggelengkan kepala dan tersenyum padanya atau lebih tepatnya berusaha tersenyum padanya dengan mata yang nyaris tertutup.
ù
“ng…”. kubuka mataku perlahan. Selimut? Aku dimana? Aku segera bangun dan kudapati diriku berada di kamar Aizen,. Kulihat jam yang ada di meja, masih jam lima pagi, biasanya pun aku bangun jam lima pagi bila tidak bekerja lembur.”Sial, terjadi lagi” ucapku menyesali diri. Aku segera turun dari ranjang dan menuju ruang tamu tempat kami bekerja semalam. Di sana, Aizen tidur di sofa. Dia begitu tenang dalam tidurnya, seperti sekuntum bunga kaca piring yang jatuh di danau yang tenang. Aku segera kembali ke kamar dan mengambil selimut.
“maaf, padahal kau sakit tapi justru aku yang tumbang” Kupakaikan selimut itu pada tubuhnya. Kulihat naskah yang ada di meja telah selesai dikerjakan. Kalu seperti ini aku berani berlama-lama untuk memandangnya. Aku mulai berpikir kenapa saat bersamaku dia begitu manis tapi dihadapan orang lain seolah badai salju sedang turun. Apa aku salah jika aku mulai menyimpan bayangnya di salah satu sudut hatiku? Atau aku salah mengartikan bantuannya selama ini? Uuh memikirkan hal seperti ini membuatku bingung. Tiba-tiba kurasakan ada yang menarik pinggangku.
“kalau terus dipandangi seperti itu nanti wajahku bisa berlubang”
Ternyata dia tahu kalu aku disampingnya, kupikir dia tidur. Dia menarik tubuhku mendekat padanya, sangat dekat. Sejenak pandangan kami beradu. Wajah kami semakin dekat dan bibir kami hampir bersentuhan namun dengan segera kupalingkan wajahku hingga dia mencium leherku.
“aah…___!” aku melepaskan tangannya dari pinggangku dan segera bangkit.
“kau… memanggilku apa?” tanyanya menatapku lekat, seolah ada sesuatu di wajahku.
“a..apa?” aku bingung dengan pertanyaannya .“memangnya tadi aku bilang apa?” aku tidak ingat apa yang aku ucapkan tadi.


ù
Hari ini aku bejalan-jalan di pusat perbelanjaan bersama Hikari, sahabatku saat kami masih belajar di universitas Kyoto. Karena hari minggu pusat-pusat perbelanjaan penuh dengan orang, terutama di sekitar Osaka dome.
“ah, tas ku” teriak Hikari tiba-tiba menunjuk seseorang yang berlari sambil membawa sebuah tas berwarna orange yang ku kenali milik Hikari. Aku segera berlari mengejar jambret itu. Tapi sial ada banyak orang, aku kesulitan untuk mengejarnya. Segera aku melompat pada pembatas jalan dan berlari dia atasnya. Penjambret itu berada tepat didepanku, dengan sekali tendangan yang mengenai punggugnya dia terjerembab di jalan. Dia berusaha bangkit dan melarikan diri namun telambat aku menjegal kakinya dan segera mengunci tubunya dengan menarik tangannnya ke puggungnya.
“mau kabur ya?” kuambil tas Hikari dengan paksa. Kebetulan sekali aku mengenakan celana denim sebatas lutut sehingga bisa bergerak dengan leluasa.
“reka…” Hikari berlari menghampiriku yang berada di kerumunan orang, dia datang bersama dua petugas keamanan yang segera membekuk jambret itu. Segera ku berikan tas itu pada Hikari. Sedangkan Hikari hanya menatapku keheranan meski bukan pertama kalinya dia melihat aku menghajar orang. Meskipun bersikap manis aku juga bisa menjadi pribadi yang kejam bila ada orang iseng yang mengganggu.
“reka, kau tak apa?” tanyanya padaku. Suara Hikari yang lembut menyiratkan sebuah kekhawatiran.
“tendangan yang hebat?” kata seorang pria yang berdiri di belakangku. Aku segera berbalik. Pria itu kurus dan tinggi, mengenakan piercing di kedua telinganya, rambutnya berwarna pirang dan diberdirikan, dia mengenakan t-shirt hitam dan membawa sebuah tas olah raga. Dia tersenyum padaku, dalam. Aku kenal senyuman itu, senyuman sang iblis.
“kak Hiruma?” mengejutkan bertemu dengnnya disini. Ku dengar dia pergi ke Amerika setelah lulus SMU. Tidak ada yang berubah darinya, masih sama.
“hai” katanya singkat. Orang ini adalah senpai ku. Saat itu aku kelas satu dan dia kelas tiga. Aku pernah menghajarnya habis-habisan karena merusak sepedaku. Sebenarnya tidak sengaja dia menabrak sepedaku dengan motornya sampai hancur. Tapi itu karena dia balapan liar dengan siswa sekolah lain.
“apa akbar”
“baik, kakak sendiri kapan kembali ke Jepang? Ku dengar kakak pergi ke Amerika”
“ya, aku baru kembali bulan lalu”
ù
Hari Sabtu, aku libur dan saatnya memberiskan rumah kontrakan. Kukenakan celana pendek sebatas paha dan t-shirt tanpa lengan. Ku ikat rambutku tinggi dan ku kepang. Tak lupa kukenakan celemek dan masker. Pertama mencuci tirai, pakaian dan seprey, lalu membersihkan debu, menyapu dan mengepel. Akhirnya selesai juga setelah dua jam penuh membereskan rumah. Perabotan telah kutata dan tirai telah ku ganti dengan yang bersih.
Tingtong…. ada tamu, tidak biasanya. Betapa terkejutnya aku saat membuka pintu. Aizen berdiri dihadapanku. Dia mengenakan t-shirt biru dan jaket putih.
“selamat pagi”
“selamat pagi” balasku. Kupersilahkan dia masuk. Ada perlu apa dia datang kemari.
“kau ada waktu hari ini?”
“ng…sebenarnya aku ada janji hari ini” wajahnya seketika berubah mendengar jawabanku.
“begitu ya”
“bagaiman kalau kau ikut bersamaku?”
“Ha…” sekarang dia menatapku heran. Lucu sekali perubahan ekspresinya

ù
“kakak…” seorang anak perempuan berusia lima tahun segera berlari menghampiriku. Anak yang manis, rambutnya keriting dan diikat dua. Seperti boneka prancis.
“Yukio, apa kabar”
“kak Reka” sekelompok anak-anak segera mengerumuniku
“Hotaru, Kotaro, Mikami, Lucia”
“kakak aku mau cerita putri lagi” kata Lucia, anak perempuan berambut coklat panjang dengan mata berwarna seperti air.
“tidak mau, cerita kesatria saja” ucap Kotaro dengan nada kesal. Anak laki-laki yang manis tapi sedikit manja.
“kakak paman itu siapa? Pacar kakak ya?”
Apa maksudnya Aizen? Kutengok dia yang berdiri tidk jauh dariku. Wajahnya terlihat tidak peduli dengan suasana di sekitarnya. Aku lalu menghampirinya dan menariknya mendekat pada anak-anak.
“ini Aizen, bos kakak di kantor”
“bohong, pasti pacar kakak” ucap Lucia
“bukan! aku pacarnya kakak!” ucap Hotaru yang memelukku tiba-tiba. Membuatku sedikit kaget.
“iya, kakak kan pacarnya Hotaru” aku tersenyum padanya sambil membelai rambutnya yang lembut.
“bukan kakak pacarku” ucap Kotaro yang juga memelukku.
“iya, kakak akan jadi pacar kalian semua” kataku padanya. Anak-anak ini lucu. Aku merasa senang bila bersama mereka.
“Nona sudah datang” ucap seorang anak perempuan sambil membunggukkan badan padaku, aku membalasnya. Anak perempuan ini pekerja sosial sukarela di tempat penitipan anak. Namanya Hayano Izumi, usianya baru lima belas tahun. Dia yatim piatu, dulu kakek yang membantu keluarganya.
“Izumi sudah kubilang jangan memanggilku nona, panggil nama saja ya”
“tidak bisa, kakek nona sudah banyak membantu keluarga saya. Sudah saatnya saya mengabdi pada nona”. Aduh, Izumi ini susah sekali. Urusan masa lalu masih saja dibawa-bawa.
“bagaimana kalau kau memanggilku kakak saja, seperti yang lain?”
“baik nona, eh, kakak”
“begitu lebih baik” kataku tersenyum padanya.
“nona, eh, kakak datang bersama siapa? Pacar?”
Huuh, kenapa Aizen ini selalu dikira pacarku. Kalau begini bisa-bisa aku tidak mendapat pacar. Kulirik dia sekilas.
“bukan, dia bos ku”
“begitu ya” lalu dia membunggukkan badan pada Aizen, tapi dia hanya mengangguk. Orang ini kenapa sih?
“kakak ayo cerita”anak-anak itu kembali mengerumuniku.
“iya-iya. Sekarang cerita tentang tiga Ninja yang menyelamatka putri” mereka duduk mengelilingiku di taman beralaskan rumput hijau.
“suatu hari ada seorang putri bernama Hanako. Putri Hanako mempunya pengawal 3 orang ninja. Tapi suatu hari putri Hanako menghilang. Ayahandanya sedih dan mengutus tiga ninja untuk mencari sang putri. Kira-kira putri pergi kemana?”
“putri Hanako diculik penjahat” kata Hotaru
“paman tidak boleh merokok” aku segera menoleh. Aizen sedang duduk sambil memegang sebatang rokok dan seorang anak perempuan berusia enam tahun dengan pakaian berenda berwarna merah muda berdiri di hadapannya. Rambutnya hitam sebahu mengenakan sebuah bandana merah. Itu…
“kalu paman merokok nanti bisa sakit sepertiku” lanjutnya
“begitu ya” disaimpannya kembali rokok itu ke dalam sakunya.
“Papa dulu juga merokok makanya aku sakit”
“siapa namamu anak manis” tanyanya sambil mengusap kepala anak itu.
“Ishikawa Natsumi”
“Aku Aizen Sousuke”
Aku tidak menyangka dia bisa bersikap manis dihadapan anak-anak. Kalu seperti ini kelihatan indah.
“kakak ayo lanjutkan”
“ng…sampai mana tadi? Tiga ninja mencari putri ke hutan, ke kota, kemana pun sampai ketemu”
ù
“Natsuni anak yang manis ya” kataku sembari memberikan sekaleng jus padanya.
Dia terus memandang anak-anak yang sedang bermain bersama Izumi.
“ibunya bilang dia sakit kangker paru-paru”
“anak sekecil itu. Kasihan sekali”
“ya. Di tempat penitipan ini aku bertemu anak-anak dengan berbgai macam karakter dan permasalahan. Ada yang manja dan selalu ingin di perhatikan seperti Kotaro, yang licah seperti Lucia, ada juga yang menderita sakit seperti hal nya Natsumi”
“kenapa kau menyuakai anak-anak?”
“itu, karena aku tidak punya saudara. Lagi pula bermain bersama mereka membuatku merasa tetap muda” aku tersenyum padanya.

ù

ù
ù
“reka kain apa yang kau bentangkan itu” katanya melihat sebuah kain dengan motif sulur bunga berwarna kecoklatan yang kubingkai dan kupasang sebagai tokonoma.
“oh itu. Itu kain batik pemberian sahabatku. Kakaknya pulang dari Indonesia, dia bilang itu kain tradisional dari sana. Cantik ya!”
“batik?” dia berjalan mendekati kain itu memperhatikannya dengan seksama,. Kupikir kain itu memang indah, mungkin dia baru pertama kali melihatnya.
“aku ada ide, bagaiman kalau kita membuat majalah tentang kebudayaan yang ada di dunia” ucapnya kebali duduk dan membetulkan letak kacamatanya. Dia terlihat sangat antusias dengan ide tersebut.
“kurasa itu ide yang bagus”
“ya, aku akan menghubungi beberapa orang dan pergi ke asia tenggara untuk penelitian. Besok kita bicarakan ini di kantor”
“ya, kakak temanku juga bilang di setiap pulau memiliki tradisi dan kebudayaan yang berbeda” kataku tersenyum padanya. Saat ini memang tema-tema kebudayaan tradisional dari berbagai negara sedang di gemari.
ù
Dia berbaring di ranjang memejamkan matanya. Langit yang indah, terlihat biru bersih dari beranda kamarku di lantai dua yang terbuka. Kurebahkan tubuhku di sampingnya. Angin yang berhembus lembut membuat tirai yang kupasang di jendela dan tiang melamba-lambai mengantarkan sang matahari turun dari singgasananya. Aizen manis sekali, kupandangi dia sambil tengkurap di sampingnya. Sepertinya dia ketiduran. Apa yang dia kerjakan seharian ini? Kubelai rambut coklatnya yang lembut. Mungkin dia memang kelelahan, biar saja dia tidur disini. Kudekatkan wajahku ke pipinya, namun rambutku jatuh mengenainya dan membuatnya terjaga.
“Ah” ditariknya tubuhku lalu diciumnya bibirku. Dalam. Manis yang samar menyeruak tiba-tiba, memenuhi mulutku. Kalau seperti ini kesadaranku bisa menghilang. Rasanya sesak. Dadaku berdebar dengan cepat. Aku tidak bisa lepas darinya. Dia memeluk tubuhku erat. Aizen.

ù

ù


Gadis itu masih remaja, usianya sekitar delapan belas tahun. Berperawakan tinggi dan lansing. Rambutnya sebahu berwarna coklat dengan ujung merah ruby. Dia mengenakan rok pendek asimetris dan blazer burgundy. Mata gadis ini bulat kecil, berwarna ungu cerah di tengahnya. Mungkin dia memakai softlens. Apa Aizen memiliki adik perempuan, tapi dia tidak pernah bilang. Dia itu memang misterius, seolah ada yang lain dari dirinya.
Saat ku buka pintu ruang rapat itu begitu mengejutkan. Aku hampir tak percaya dengan penglihatanku. Mungkin aku sudah gila atau mataku yang rusak. Segera kututup kembali pintu itu perlahan.
“aihana, laporan itu sudah dilihat pak Aizen?” Tanya Matsutani yang berpapasan dengan ku di lorong.
“oh, iya. Belum pak Aizen sedang ada tamu” kataku setenang mungkin.
“Waah, diluar hujan turun deras sekali. Sepetinya nanti malam akan ada badai” ucap seorang petugas kebersihan yang baru memasuki ruangan kepada temannya yang sedang membersihkan lantai. Sebagian lengan pakaiannya terlihat basah. Aku pun segera meninggalkan Matsutani.
Kupadangi hujan dari jendela di samping meja kerjaku, titik titik air itu membentuk berkas-berkas panjang yang mengalir di kaca jendela. Ku hapus embun dengan tanganku, dingin. Di luar sedang hujan. Dan saat ini ada hujan lain yang turun, jauh di dalam hatiku. Bagai ribuan jarum perak yang terus turun dari langit. Menyakitkan.
Masih jelas dalam ingatanku saat gadis itu menggelayuti tubuhnya dan memanggil namanya ’Sousuke’ dengan begitu mesra sebelum mencium bibir Aizen dengan sedemikian rupa. Bulir-bulir hangat mengalir perlahan membentuk berkas yang sama dengan air hujan yang jatuh di pipiku.
ù
Dua hari aku tidak bisa pergi kemana-mana karena badai. Ditambah lagi maag ku kambuh, semua makanan yang ku makan kumutahkan kembali. Aku tidak bisa makan selain makanan asin dan sedikit bubur. Rasa sakit yang menyayat, perutku rasanya berdarah. Antasida yang biasanya kuminum telah lama habis sejak terakhir kali maag ku kambuh. Sepanjang hari aku hanya berbaring di tempat tidur. Suara angin berderak-derak menghantam kaca sepanjang hari. Membuat semuanya semakin tidak menyenangkan. Dan aku selalu teringat pada Aizen dan gadis itu. Apa aku cemburu? Tanyaku dalam hati.

Badai telah reda, tubuhku kupaksa untuk pergi ke dokter. Ku biarkan beranda dan halamanku berserakan. Aku tidak sanggup membereskannya hari ini.
“akan ku beri kau resep. Sebaiknya kau tidak mengkonsumsi minuman bersoda maupun yang mengandung alcohol untuk saat ini” ucap dokter sambil menuliskan resep.
“aku tidak minum alcohol”
“bagus, sebaiknya konsumsi buah dan sayur ditambah dan hindari makanan pedas, asam, atau makanan yang diawetkan. Aku tidak memberimu vitamin C karena lambungmu masih lemah” diserahkannya resep itu untuk diukar di apotek. Lima jenis kapsul dan sebotol antasida. Kenapa aku yang tidak suka obat ini harus mengkonsumsi obat begini banyak.

ù
Besok hari ke beragkatannya menuju negeri selatan, dia menyusulku yang ada di balkon. Tempatku menghilangkan kejenuhan dan mencari sedikit udara segar. Sebenarnya aku malas bicara dengannya.
“apa aku boleh mengharapkan mu?” katanya menatapku dengan sepasang matanya yang tajam.”saat aku kembali nanti” Ungkapannya membuatku tertegun Aizen berkata demikian padaku, kenapa tiba-tiba menjadi begini?
“maaf , aku tidak bisa” kupalingkan wajahku darinya. Entah, hatiku masih sakit. Apa aku cemburu? Tapi dia siapaku sampai aku cemburu.
“aku ingin kau menjadi orang pertama yang aku temui, saat aku kembali nanti”. Aku terus diam dan berusaha tidak mendengarkan ucapannya. Seolah dia adalah angin yang akan seger berlalu.
”Aku sangat berharap” ucapnya lalu meninggalkanku sendiri.
ù
“ada waktu, hari minggu nanti?” tanyanya
“ya. Memangnya kenapa”
“mau lihat aku balap motor?”
“boleh, jam berapa?”
“aku jemput jam delapan”
“oke” suara telepon di seberang telah ditutup. Kak Hiruma, aku belum pernah melihatnya balap motor secara langsung. Tapi… bukanya dia baru sembuh setelah kakinya keseleo saat balapan di Amerika. Kalau sudah berani balapan berarti kan sudah baikan. Kulemparkan tubuhku pada ranjang dan segera kupeluk bantal erat-erat. Aku senang sekali bisa bertemu lagi dengan Kak Hiruma setelah sekian lama.
“berapa tahun ya?” aku menghitung dengan jari. Saat itu aku berusia enam belas tahun dan sekarang usiaku dua puluh dua tahun berarti lima atau enam tahun. Lama juga.
ù
ù
“terimakasih ya, sudah mengantarku pulang” kataku pada kak Hiruma di depan aprtemen tempat tinggalku. Saat ini sudah jam setengah satu dan aku baru pulang dari sirkuit.
Dia tersenyum dengan senyuman khasnya.”tidur yang nyenyak” katanya mengecup keningku. Aku tertegun mendapat perlakuan seperti itu. Tapi lebih terkejut lagi ketika seseorang memukul kak Hiruma dengan tiba-tiba. Dan aku tahu siap orang itu, dia Aizen.
“jangan sentuh” ucapnya
“Aizen, apa yang kau lakukan?”
“kau, kenapa kau begini?” katanya menggenggam lenganku erat.
“memangnya dia siapamu?” Kak Hiruma menarik tangan Aizen dari lenganku. Tapi sebuah pukulan kembali melayang ke arahnya. Sekarang mereka saling pukul. Kak Hiruma yang belum sembuh benar dari lukanya terlihat tak berdaya.
“sudah! Cukup!” kulayangkan sebuah pukulan ke wajah Aizen. Dia diam tertegun menatapku. Jantungku berdebar dengan kencangnya dan keringan membasahi wajahku. Ada perasaan sesak dan kecewa yang membaur. Aku menatapnya dengan perasaan dingin. Setelah beberapa saat dia pergi, dengan luka yang tertinggal di hatiku.
ù
Aizen memintaku bertemu dengannya sore ini di kedai teh O-cha. Kukenakan sebuah kimono berwarna orange lembut bermotif kipas. Kuikat sebagian rambutku dengan tali serat.
Kini dia duduk di hadapanku, menatapku. Aku masih ingat perkelahiannya dengan kak Hiruma semalam. Lalu apa yang dia inginkan memintaku datang ke kemari. Kami duduk di suatu ruangan yang ada di sebuah kedai teh kecil di Osaka, tempatku biasanya minum teh bersama teman atau seorang diri. Di meja ada sebuah teko teh dan dua buah cangkir. Asap teh yang harum mengepul dari setiap cangkir keramik. Tapi keheningan masih menyelimuti kami. Aku tidak berani unuk memulai percakapan ini sedangkan dia masih menatapku tajam sejak kedatangnku. Aku terus menunduk tidak berani memandangnya sedikitpun.
“kenapa kau menghianatiku?” aku tersentak dengan perkatannya. menghianati apa? Apa maksudnya? Namun aku masih terdiam. Aku mengangkat wajahku menatapnya sejenak lalu kembali menunduk.
“apa ada yang salah degan diriku, apa aku jahat padamu?”
“tidak, justru sebaliknya terlalu baik. Maaf telah mengartikan lain segala kebaikanmu” ucapku sambil tersenyum, pedih. Meskipun sebenarnya dia memang berbuat jahat padaku secar tidak langsung.
“kalu aku baik padamu kau tidak akan menyiksaku aku seperti ini? beri aku alasan pada sikapmu ini reka?”
Digenggamnya cangkir teh dengan erat lalu di hentakkannya ke meja, keras. Cangkir itu berubah menjadi kepingan dalam genggaman tangannya. Air teh mengalir di meja bersama dengan darah yang mengalir dari tangan kanannya. Aku tersentak dia melukai dirinya sendiri.
“Aizen’ segera aku duduk di sampingnya, menggenggam tanganya yang berlumuran darah dan mebersihkannya dengan sapu tanganku. Membuat hatiku semakin terluka. Bulir-bulir hangat mengalir dari rongga mataku, perlahan.
“kenapa reka?” katanya menghapus airmataku dengan tangan kirinya, lembut. Aku menggelengkan kepalaku. Aku terus mebersihkan darah yang ada di tangannya, tetap menunduk dan diam. Airmataku jatuh membentuk pola abstrak pada kimonoku.
“aku tidak ingin mengharapkanmu lebih dari ini. Aku hanya sehelai daun kering yang jatuh ke air. Air itu adalah dirimu. Sedangkan ada bunga yang juga jatuh disana” kataku menatap keluar. Daun-daun momiji telah menguning. Saat itu sehelai daun lepas, berputar sejenak di ruang kosong dan akhirnya jatuh di air kolam yang tenang menimbulkan riak tipis yang tak berarti. Di sana pun ada beberapa kuntum oliander merah muda yang mengapung.
”bunga? Maksudmu...?”.
“nadeshiko”
Dia terperanjat mendengar nama itu. Nadeshiko, gadis yang bersamanya saat itu. Seketika wajahnya terlihat pucat, seolah tak ada darah yang mengalir di sana. Atau mungkin seluruh darahnya hilang melalui luka yang ada di tangan kanannya.
”Di dalam air ini hidup seekor ikan. Berwarna keemasan. Cantik” katanya mengangkat daguku dan menghapus airmata yang mengalir dipipiku.” dan aku ingin kau menjadi ikan itu, bukan daun kering”. Aku terisak saat dia merengkuh tubuhku dalam dekapannya. Aku tidak tahu apakah sehelai daun kering ini bisa berubah menjadi ikan keemasan yang hidup pada dirinya. Aku sendiri tidak yakin dengan perasaanku padanya.

ù
Malam ini diadakan pesta launching majalah kami yang bekerjasama dengan para pengamat mode dan desainer. Juga diadakan peragaan busana beberapa perancang. Pesta diadakan di hall salah satu hotel di Osaka. Hampir semua staff penerbitan hadir di sana.
Aku datang bersama kak Hiruma. Kukenakan sebuah gaun sederhana berwarna ungu muda setinggi lutut, rambutku kubuat keriting dan kuikat disamping. Kak hiruma menenakan kemeja putih dengan jas hitam, dia terlihat casual. Sebenarnya aku ragu mengajaknya karena kejadian bulan lalu. Tapi dia memaksa ikut.
”mau berdansa bersamamku” katanya memintaku. Aku tersenyum padanya.
”dengan senang hati” tentu saja aku menerimanya, sebenarnya aku mengagumi Hiruma Ichiyo ini sejak SMU. Dia memang berandalan dan sepedaku menjadi korbannya. Aku juga pernah menghajarnya, satu-satunya murid perempuan yang berani menghajarnya hingga babak belur. Setelah hari itu kami menajadi akrab sampai dia meninggalkan Jepang tanpa kabar. Baru setahun setelahnya aku tahu dia pergi ke Amerika untuk balapan motor.
”hari ini kau terlihat manis sekali” ucapannya membuatku sedikit tersipu.
”memangnya biasanya tidak manis?”
”bagaimana ya? Biasanya mengerikan” katanya sambil mengerutkan alisnya. Dia terlihat lucu, padahal tidak begitu pun dia sudah terlihat galak. Aku tertawa jadinya.
”kenapa terawa?”
”kakak lucu. Kau sudah kelihatan galak, jadinya aneh” aku belum bisa berhenti tertawa.
”boleh aku berdansa denganmu?” Aizen tiba-tiba muncul di antara kami. Aku masih merasa enggan, apalagi dihadapan kak Hiruma.
”bagaimana ya? Dia bersamaku lebih dulu” kata kak Hiruma dengan tenang.”tapi, pasanganku sudah datang jadi kau ku tinggal ya” ucapnya setelah beberapa saat. Pasangan itu maksudnya Hikari. Dia bekerja di sebuah perusahaan iklan yang juga hadir pada pesta hari ini. Aku pun menerima uluran tangan Aizen setelah Kak Hiruma menemui Hikari. Menyentuh jemarinya kembali setelah sekian lamanya. Ada perasaan asing yang tiba-tiba hadir di hatiku. Digenggamnya jemariku erat.
”kau masih marah?”
aku menggelengkan kepala. Aku tidak marah tapi kecewa.”bagaimana tanganmu?” kembali teringat telapak tangannya yang terluka karena pecahan keramik.
”sudah sembuh, terimakasih kau mau merawatku saat itu. Jika tidak mungkin aku sudah mati”
”tidak perlu bicara seperti itu” ucapku ketus.
ù
Tiba-tiba tubuhku terasa berputar dan terguncang. Lampu berkedip-kedip tidak jelas. Meja dan perabotan semuanya berderak. Dinding gedung bergetar sedemikian rupa membuat semua orang menjadi panik. Hiasan dinding, jam, gelas, dan perabotan semuanya berjatuhan. Semua orang berhamburan keluar gedung. Aku ikut berlari keluar ruanganku yag ada di lantai tiga. Semua orang berdesakan menuruni tangga. Tiba-tiba pandanganku mengabur, cahanya yang temaram semakin menyulitkanku untuk melihat. Softlens ku pasti terjatuh saat berdesakan tapi tidak ada waktu untuk mencari. Aku berjalan secepat yang aku bisa mengikuti orang-orang keluar gedung. Saat aku melewati lorong beberapa mesin penjual minuman jatuh. Kurasakan nyeri pada sebagian tubuhku. Sesaat kemudian semuanya menjadi gelap.

ù
Tubuhku terasa nyeri, tercium bau alcohol yang menyengat seperti di rumah sakit. Ternyata benar, aku terbaring di ranjang rumah sakit. Tubuhku tidak mengalami luka serius, hanya beberapa lecet dan memar karena terbentur.
“Kau sudah sadar?” aku bisa melihat gadis yang ada dihdapanku cukup jelas meski tanpa kacamata atau soft lens. Suranya pun sangat akrab di telingaku.
“Hikari?”
“Aku khawatir sekali saat mendengarmu masuk rumah sakit. Aku sudah menghubungi orang tuamu dan bilang kau baik-baik saja”
“Terimaksih”
“Tapi sepertinya orang bernama Aizen itu belum sadar”
“Dia, kenapa?”
“Kau tidak tahu? Tubunya tertimpa mesin penjual minuman”
“A..apa?” jadi yang mendorong tubuhku waktu itu Aizen. Dia, demi aku…
ù
Aku sudah di perbolehkan pulang setelah sehari di rawat. Tapi Aizen belum juga sadar. Kakinya kakannya patah, di lehernya terpasang penyangga dan ada perban yang terlilit di kepalanya. Kulihat ada memar di bawah matanya. Aku tidak bisa melihatnya seperti ini. Ku genggam erat jemarinya dan kucium lembut. Masih terlihat bekas sayatan di telapak tangan kanannya, hatiku pedih, tanpa sadar bulir-bulir hangat berjatuhan dari mataku. Aku tidak ingin dia mati. Aku kecewa, benci tapi untuk kehilangan dia, aku tidak bisa. Ini semua karena aku.
”Aizen, maaf. Aku masih saja menjadi gadis bodoh dihadapanmu, aku tidak bisa merubah daun kering ini menjadi ikan keemasan seorang diri, sadarlah dan bantu aku” kubenamkan wajahku, dalam.
ù
Setiap hari aku menunggunya. Dan setiap malam aku menemaninya. Ini hari ke tiga, dan dia belum sadarkan diri. Ku rebahkan kepalaku di tepi ranjang. Beberapa hari ini aku kurang tidur, waktuku terbagi antara bekerja dan menunggu Aizen. Aku tidak bisa tidur dengan nyaman, pikiranku hanya tertuju pada Aizen yang belum juga sadar. Aku merasa Aizen membelai kepalaku, lembut, apa aku sedang bermimpi. Segera kubuka mataku, kulihat Aizen tersenyum padaku. Aku senang sekali dia sudah sadar. Mataku rasanya menjadi panas dan berair, tidak terbendung lagi.
“Reka, terimakasih” katanya tersenyum. Suaranya yang dalam merasuk dalam hati.
“kau itu kenapa?” kakatu terisak
“aku tidak ingin kau terluka, kau baik-baik saja kan?” di genggamnya jemariku, genggaman tangannya hangat dan lembut.
Aku mengangguk “tapi bukan berarti kau yang harus terluka”
“kau menghawatirkan aku ya?” dia memandangku keheranan namun penuh dengan harapan bahwa aku sangat menghawatirkannya.
“tentu saja, bagaimana tidak? Siapa yang tidak cemas jika orang yang disanyanginya terluka?” darah seolah mengalir deras di wajahku dan kakiku terasa sangat dingin saat kuucapka kalimat itu secara spontan dihadapannya. Mungkin sekarang pipiku berubah merah.
“terimakasih telah khawatir, aku senang kau menyayangiku” aku terisak mendengarnya bicara seperti itu, seolah tidak ada yang terjadi.
“Jangan menangis, kalau seperti ini aku tidak bisa menghapus airmatamu” kuhapus airmata yang tak kunjung reda dengan tanganku dan tersenyum padanya.
ù
Satu bulan berlalu sejak saat itu. Aku tinggal di rumah Aizen merawat dan menemaninya terapi. Sekarang dia sudah bisa berjalan tanpa penyangga kaki.
“Reka, seharian aku tidak bertemu denganmu” katanya memeluk tubuhku, erat. Dan mencium pipiku.
“le…lepaskan, sakit” kataku berusaha lepas dari pelukkannya.”sudah minum obat?”
“Sudah” ucapnya yang terus mendekap tubuhku dan menarikknya hingga rebah di sofa. Dia menatapku lama sekali. Mata coklat itu, aku selalu mengaguminya.
“Apa?” kubelai rambut coklatnya yang mulai tumbuh menutupi telinganya dengan lembut. Dia terus menatapku, dalam, sampai ke hati. Ada perasaan lain yang selalu hadir saat bersamanya. Sebuah perasaan rindu yang ganjil, seolah aku pernah melewatkan sekian banyak waktu bersamanya. Kadang ada pertanyaan bodoh terlintas di kepalaku, apa di masa lalu dia adalah kekasihku? Perasaan itu sedemikian kuat hingga terkadang menguasai pikiranku. Sampai-sampai aku tidak bisa memikirkan hal lain selain dia. Caranya menatapku, cara dia tersenyum, saat dia marah, diam, tertawa, semuanya memenuhi pikiran dan hatiku.
Betapa dalam sentuhan yang di berikannya padaku, bibirnya terasa lembut dan manis. Aku tidak bisa memikirkan hal lain selain dia. Perasaan yang meluap-luap yang ada di hatiku. Bersamanya aku merasa hidup. Daun kering ini telah jatuh ke air, menyentuhnya, merasakan alirannya, riaknya, dan kesejukannya. Apakah daun ini benar-benar akan berubah menjadi ikan keemasan yang dia maksud? Dengan sihir yang telah ditebarnya pada diriku. Sihir yang merasuk hingga kalbu.


ù
Salju mulai turun, putih, seperti kapas yang beterbangan di udara. Kepingan salju yang kutangkap segera meleleh ditanganku. Semuanya terlihat putih, seperti padang rumput putih.
“reka menikahlah denganku”katanya membuka kotak berisi sebuah cincin bertahtakan berlian.
Aku tersenyum padanya. Dia tahu arti senyumanku, aku menerima lamarannya. Segera dia mendekap tubuhku, erat, seolah tak kan pernah di lepaskannya.
“terimakasih reka, terimakasih” bisiknya lembut.
“Aizen” berada di sampingmu aku merasa bahagia. Aku tidak ingin jah dari mu. Di langit musim dingin kembang api meledak, dengan warna-warnanya yang indah menghiasi langit. Dan kebahagiaan pun menghiasi hatiku dan hatinya., seperti kembang api itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar