Jumat, 12 Agustus 2011

BAKA ONICHAN

BAKA
BAKA
BAKA T___T


huhuhu....huhuhu... Kennii...nanni wo shitte iru? Atashi wa mite anata no MV. Aku suka, kau manis sekali tapi... Demo... Demo... Demolution

Daikirai
Daikirai
Daikirai
Daikirai T____T

KEnapa kau cabut bunga-bunga yang kutanama dan kurawat penuh kadsih dan perjuangan. Padahal mereka sedang mekar indah-ndahnya.

Huhuhuhu...huhuhuhu....huhuuhu...

Semalam aku memang main sama Aizen lagi. Tapi kan di AU bukan RW. Yes, he kiss me in my story of course. And you #$%$#@$%^&^*f*****her. Aku jadi bicara kasar kan. karena kesal. bulan lalu. aku ke kampus dnegan perasaan galau, muka merah dan panas yang aku sampai nggak tahan. Rsanya darah ngumpul di pipiku. AKu tidak bisa langsung pulang krena persaan itu, demo...



Ohkuchi Kengo san. It can be said that, not love at the first sigh. But your elegance trap me. it is because of Aizen, right.







Skarang, sekarang, sekarang
Aku mau nangis
Aku benci Kennii
Tapi aku tidak akan berhenti
Aku akan terus menyukai Kennii
Aku berusaha untuk konsisten (meski dijalan yang salah ya?)

YAh, pokonya begitu. AKu ingin tetap menyukai KOhkuchi KEngo san. Kennii.


Aishiteru yo....




Selasa, 09 Agustus 2011

August Serenade

Desclaimer : Bleach by Kubo Tite
Rate : Indonesian.
Setting : Seiretei-Rukongai (Soul Society)
Type : OOC/AU/M
Genre : Romance/Aizen Sousuke-Rekka
Mood : T_T losing you




“Langit biru awan melintang. Seluas apakah dunia membentang” ucap seorang gadis yang duduk di lantai kayu sebuah pondok yang ada di sebuah taman dengan air danau yang tenang dan kabut tipis disekitarnya. Rambutnya di sanggul dengan sebuah jepit bunga senada dengan yukata yang dikenakannya. Tatapanny a mengarah pada langit biru di atasnya.

“Kita adalah daun di antara daun. Tidak tahu ada berapa. Biarkan angin membawamu dan lihatlah dunia” balas seorang pria yang duduk disamping gadis itu. Rambut panjangnya memutih. Bukan karena waktu semata tapi karena sakit yang dideritanya sejak remaja.

“Kalau daun ini terbang, bisakah dia kembali? Seperti bunga yang jatuh di hulu menuju hilir. Tidak mungkin dia kembali” dihanyutkannya setangkai bunga lili merah di air kolam itu. Alirannya lambat namun bunga itu hanyut juga.

“Dia akan kembali kalu kau memungutnya sebelum hanyut” balasnya memungut bunga yang dihanyutkan gadis itu dan menyematkannya di atas telinga.

“Taichou, kenapa membalasnya begitu?” (TT__TT) Rekka memeluk tiang sambil beruraian airmata mendengar jawaban dari taichounya.

“Rekka san, dari pada memeluk tiang, peluk aku saja” ucapnya dengan senyum mengembang.

Kata-kata itu memebuat Rekka tumbang, bahkan rohnya keluar dari mulut. Betapa sang taichou bisa berubah genit seperti itu.

“Ah, aku salah ya?” ucap Ukitake Juushiro menatap fukutaichounya yang terkapar.

“Sumakatta”

“Hai” akhirnya nyawa Rekka kembali ke tubuhnya. “Juushiro sama, tolong jangan diulangi ya” pintanya dengan tampang madesu.

“Soalnya menggodamu itu menyengakan”

“Taichou....” (TT__TT) kembali, gadis itu berurai airmata.

“Baiklah baiklah” uapnya sebelum roh fukutaichonya benar-benar menguap.
Saat itu mereka sedang menghabiskan suatu senja di musim panas di Ugendo Koen, tempat peristirahatan faforit Ukitake Juushiro di barak pasukan tiga belas. Ditemani dengan mochi kacang merah dan teh hijau ynag menyegarkan. Tak lupa kantong es untuk mengkompres kepala sang taichou yang sering kepanasan.

“Panas” gumam gadis itu sambil mengayunkan kipas ke arah lehernya yang basah oleh titk-titik keringat.

“Nanti malam mau lihat hanabi?”

“Iya. Mana bisa aku menolak permintaan Hinamori”

“Permintaan go ban tai fukutaichou atau taichou-nya ya?”

“Taichou, apa maksudmu?” (=.= ”)

“Tidak ada” ucapnya meletakkan kantong es di kepalanya. Tampaknya mulai kepayahan dengan panas yang menyengat siang itu.

“Taichou” panggil Kotetsu Kiyone yang berlari membawa nampan berisi es serut di ikuti Kotsubaki Sentaro.

“Ah, es serut” Rekka segera mengambil semangkok dan menyendoknya sebelum meleleh. Rasa dingin dan segar buah ceri memenuhi mulutnya. “Oishii...”ucapnya diantara senyum riang.

“Taichou, silahakan” ucapa Kiyone yang menyuapkan es ke mulut sang taichou.
“Aku bisa sendiri” ucapnya menolak suapan itu dengan kerepotan karena Sentaro juga ikut-ikut meyendokkan es dihadapan Ukitake. Sementara Rekka melihatnya sambil tertawa cekikikan.

^*^

“Kereika?” tanyanya pada gadis yang berdiri menatap bulan di Senzaikyuu. Angin kering berhembus pelan di bulan Augustus yang panas. Memainkan helaina rambut yang diikat ekor kuda.

“Doumo” sapanya yang membungkukkan badan pada pria yang jabatannya lebih tinggi darinya. Bulan malam itu bersinar separuh. Terang dengan cahaya pucatnya di sertai serakan bintang di sekitarnya. Bulan itu, tersenyum sedih, seperti mata gadis itu.

“Bukankah bulan itu terlihat sedih?”

“Ah, aku tidak tahu, maaf” kembali ditatapnya bulan sendu di langit Seiretei. Kekosongan menyergapi hatinya. Ada yang hilang. Ada yang salah.

“Apa kau tidak dingin? Keluar ditengah malam begini?” dipakaikannya haori miliknya pada bahu gadis itu. “Apa ada yang merisaukanmu?”

“Ie, arimasen.” Dilepasnya haori itu dan dikembalikan pada pemiliknya. “Sumimasen” ucapnya sebelum pergi.

Aizen Sousuke hanya mampu menatap sosok itu menghilang dari hadapannya. Ada yang tidak beres dengan gadis itu, Aihana Rekka. Bukan kali ini saja dia menemukan gadis itu berkeliaran ditengah malam. Apa yang dilakukannya selarut ini?

****

“Ohayou” sapanya pada sang wakil yang telah duduk di koridor. Menatap langit dengan matahari pagi yang cerah ceria. “Kau bangun pagi sekali”

“Ohayou” sapanya dengan senyum sekilas. “Iya, aku bangun cepat” jawabnya. Tapi mata gadis itu, bukan mata orang bangun tidur, melainkan mata yang tidak tidur sama sekali.

“Ada apa Rekka san?”

“Nandemo nai” jawabnya singkat yang segera bangkit.”Ah, Juusiro sama, aku sudah membuat sarapan”

“Ah, hiru gohan o tabemasu”

****

“Ohayou, Aizen taichou” sapa Hinamori Momo saat bertemu kaptennya di koridor menuju ruang pertemuan harian.
“Ohayou, Hinamori kun” balasnya dengan senyum menyertai. Membuat wakilnya tersipu merah. Keramahannya, kelembutannya, suaranya, semua yang ada pada dirinya melekat erat dalam ingatan gadis manis itu, sejak pertama bertemu.
“Mataharinya terik ya? Bulan Agustus memang puncak musim panas”
“Ya, apa kau ada rencana?”
Digelengkannya kepala gadis itu. “Ie, masih banyak pekerjaan kan”
“Naruhodo”
“Ohayou Aizen taichou” sapa Ichimaru Gin yang muncul entah dari mana.
“Ohayou, san ban tai taichou, hisashiburi” sapanya dengan sebuah senyum ramah menyertai. Kontras sekali dengan senyum ganjil lawan bicaranya
“Ya, aku banyak pekerjaan jadi tidak mengikuti pertemuan harian”
“Souka?”
“Tapi, akhir-akhir ini suasanannya tenang ya?” dipandanginya sekitar yang tidak begitu ramai seperti hari-hari sebelumnya. “Tampaknya banyak yang membenci panas ini ya”
“Sepertinya begitu”
Sepertinya. Tapi selalu ada saja satu orang bodoh yang rela membakar dirinya diterik matahari sambil bermain api panas. Siapa lagi kalau bukan Juu san ban tai fukutaichou yang sedang bergundah hati. Dia datang di ruang pertemuan para wakil kapten dengan tubuh penuh keringat.
“Ohayou” sapanya sambil mengelap keringat yang berjatuhan dengan handuk ditangannya.
“Rekka san, rajin berlatih ya” ucap Hinamori Momo dengan senyum manisnya sambil membagikan agenda harian.
“Ya” jawabnya singkat dan segera membaca agenda harian tersebut. Ada patroli malam di Rukongai. Dia mendapatkan jatah pada hari ke dua puluh lima bersama Kira Izuru.
“Rekka san, kita patroli bersama ya”
“Ya, mohon kerja samanya” ucapnya sopan sebagai junior.
“Ah, tidak perlu bersikap formal begitu” jawabnya dengan senyum lebar mengembang yang dibalas dengan ulasan senyum gadis itu.
****
Malam ke dua puluh lima bulan Agustus yang cerah dan panas.
“Kita berpisah disini. Aku ke Selatan” ucap Kira Izuru. “Kita bertemu saat tengah malam disini” lanjutnya yang mebawa separo pasukan bersamanya. Sedangkan Rekka dengan sisa pasukan ke arah sebaliknya.
Kini, dia berdiri di atap sebuah bangunan yang cukup tinggi. Sebuah reruntuhan rumah. Entah rumah siapa. Tapi cukup besar untuk ukuran rata-rata rumah di Rukongai.
“Rekka fukutaichou, tidak ada tanda-tanda mencurigakan” lapor salah seorang dari pasukan.
“Ya, lanjutkan patroli” ucapnya yang bershunpo ke tempat lainya. Dia lebih suka mengawasi dari tempat tinggi. Di bukit tidak jauh dari reruntuhan itu. Bulan tinggal sabit menggantung. Ditatapnya sejenak. Semilir angin kering mnegacaukan rambutnya.
“Kireika?”
Dia menoleh kebelakang. Tidak ada siapapun. Tapi rasanya dia mendengar suara itu. Suara lembut dan hangat. Begitu dekat. Begitu nyata. Tapi hanya gemerisik ranting yang tersisa. Tidak ada berkas reiatsu atau pun sosok yang dimaksud.
“Baka” gumamnya mencerca diri.
Setelah tengah malam mereka kembali bertemu di tempat yang dijanjikan.
“Kira san, semua baik-baik saja?”
“Ya, tadi ada holow tapi sudah kami bereskan. Bagaimana dengan daerah utara?”
“Tidak ada apa pun”
“Bagaimana kita lanjutkan patroli atau istirahat sebentar?”
“Kalian boleh istrahat” katanya sebelum kembali menghilang.
****
“Apa kau membenciku?” tanyanya yang telah berdiri di ujung tebing. Haori kaptennya melambai bersama angin kering. Helaian rambut coklatnya menari seirama. Suara hangatnya mengalun lembut. Seperti nyanyian di malam sunyi.
“Tidak. Tentu saja tidak” jawabnya yang berdiri dibelakang pria itu. “Kenapa kau berpikir begitu?”
“Karena kau selalu menghindariku. Apa kau merasa takut padaku?” tanyanya yang telah berada begitu dekat dengan gadis itu. Membuatnya tertegun.
“Itu, takut? Kenapa?”
“Mungkin menurutmu, aku mengerikan?”
“Ah, maaf aku”
“Tidak ada yang perlu dimaafkan” dibawanya gadis itu dalam dekapannya. Tangannya menarik lepas pita merah yang mengikat rambut gadis itu. Membelainya dngan begitu lembut. Hembusan nafasnya terasa hangat di telinga gadis itu. Membuatnya gemetar.
“Daijobu. Jangan bangkitkan api dalam dirimu di musim sepanas ini. Kau bisa membakar kota” bisiknya di telinga itu lembut.
“Lalu?”
“Lalu?” tanyanya balik. “Tetaplah begini” dibenamkan wajahnya ke leher gadis itu. “Rekka san” diremasnya jemari yang bergetar. Setelah beberapa saat getaran itu mereda. “Udara malam sangat dingin, kau bisa sakit karenanya” dieratkannya dekapannya.
“Aizen taichou” gumamnya.
“Nanni? Boku no hanabi?”
Lembut suaranya mengalun merdu bersama hembusan angin dingin. Hangat dekapannya. Harum tubuhnya. Sesuatu yang begitu sulit untuk di tolak.
“Samui desu” gumamnya lemah. Ada butiran hangat yang berjatuhan di pipinya dan segera terhapus oleh jemari lembut yang entah kenapa membuatnya begitu rindu. Dieratkannya dekapan itu. Rekka bersandar pada dada bidang Aizen. Memejamkan matanya tanpa berani melihat dunia.